KPI Jabar Gelar Diskusi: Strategi Pencegahan Perkawinan Anak Di Jawa Barat

  • Bagikan
KPI Jabar Gelar Diskusi: Strategi Pencegahan Perkawinan Anak Di Jawa Barat (Foto.Red)

Tanganrakyat.id, Jawa Barat – DPR telah Revisi UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, terkait dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, telah disahkan oleh DPR RI pada 16 September 2019.

Sekretaris wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Jawa Barat Darwini merespon putusan tersebut dengan mengadakan diskusi bersama dengan berbagai organisasi kemasyarakatan untuk memperkuat jaringan Pencegahan Perkawinan Anak di Jawa Barat, Jum’at (27/9/ 2019) di Asmila Boutique Hotel Kota Bandung Jawa Barat.

Diskusi dihadiri perwakilan dari unsur Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, DP3AKB, Dinas Kesehatan dan Kementerian Agama, kemudian perwakilan dari MUI, Organisasi Kemasyarakatan Wanita PUI, WKRI, Muslimat NU, Omaba, Yayasan Aretha, Lakpesdam NU Cimahi, For Puan Jawa Barat, Perempuan Disabilitas, Forum Puspa Jabar, akademis Psikolog UPI Bandung serta Pengurus KPI dari 5 cabang kabupaten di Jawa Barat yaitu Indramayu, Cirebon, Bogor, Sukabumi dan Bandung.

“kita bangun komitmen bersama, dan konsisten dalam gerakan Stop Perkawinan Anak, juga mendorong advokasi kebijakan publik dengan merevisi Perda Perlindungan Anak di Jawa Barat,” ujar Darwini Jum ‘at (24/9/2019).

Dalam diskusi disepakati ada point pencegahan perkawinan anak dalam perda tersebut. Karena selain mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), perkawinan anak juga mempengaruhi indeks kemiskinan. Dari segi pendidikan, banyak anak yang putus sekolah sebab sebagian besar anak yang menikah dibawah usia 18 tahun tidak melanjutkan pendidikannya. Perkawinan anak juga berdampak pada kesehatan ibu dan anak.

Jika usia anak telah mengalami kehamilan, maka mempunyai resiko kesehatan yang lebih besar terhadap angka kematian dan bayi (AKI/AKB), dibandingkan orang dewasa karena kondisi rahimnya yang masih lemah.

Sementara, dampak ekonominya adalah munculnya pekerja anak. Anak tersebut harus bekerja untuk menafkahi keluarganya, maka ia harus bekerja dengan ijazah, ketrampilan dan kemampuan yang rendah, sehingga mereka akan mendapatkan upah yang rendah pula.

Menyadari hal tersebut, KPI Jawa Barat melibatkan jaringan sipil dan pemerintah untuk mendorong payung hukum bagi pencegahan perkawinan anak. Bahkan dalam pertemuan itu dibacakan bersama pernyataan sikap yang ditandatangani oleh seluruh jaringan yang hadir. Adapun isi dari pernyataan sikap sebagai berikut :
Kami warga Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi, Organisasi Keagamaan dan Organisasi Kepemudaan meyakini bahwa :

“Anak adalah merupakan generasi penerus bangsa, oleh karenanya seluruh hak-hak mereka harus dilindungi dan dipenuhi agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, mampu berkreasi dan berinovasi, berdaya saing dan cinta pada tanah air.”

Maka dengan ini kami menyatakan :
Perkawinan anak merintangi hak anak untuk menikmati hak-haknya sebagai anak, Perkawinan anak melanggar hak asasi manusia, kekerasan dan diskriminasi terhadap anak,
Perkawinan anak berdampak pada angka kematian ibu dan bayi, angka kekerasan dalam rumah tangga dan angka Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Perkawinan anak akan merampas hak anak, menghambat tumbuh kembang anak dan merenggut masa kebahagiaan anak untuk bermain, belajar dan berkreasi.Perkawinan anak melanggengkan perempuan dan anak hidup dalam lingkungan kemiskinan dan mengangkat kerentanan.Perkawinan anak juga merintangi terwujudnya ketahanan keluarga, dan ketahanan bangsa serta Negara.(KkP)

  • Bagikan

Comment