Ketika Makna Sejarah Perjuangan Perempuan Telah Dikaburkan

  • Bagikan
Darwinih Sekwil Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Barat (Foto. Red)

“Tujuan kaum estri (perempuan) bergerak ini, terutama akan memperbaiki nasib kita dalam pergaluan hidup bersama. Merebut hak-hak kaum estri, bisa mempunyai hak leluasa sebagai lain makhluk kodrad Tuhan, …..Menurut pendapat saya, beginilah jalannya…..Bekerja berdaya upaya, mencari akal, bertenaga, bersuara mempertimbangkan di muka umum, apa yang harus berubah keadaan yang sudah cocok dan tidak selaras dengan tingkatnya kemajuan kaum esteri ….Kita harus berlomba-lomba menguji pengetahuan baru dan membuang adat kolot yang sudah tidak pas lagi dengan kebutuhan pada ini masa. “ ( Pidato R.A. Soedirman, perwakilan dari Poetri Boedi Sedjati)

Peringatan hari ibu telah mengaburkan sejarah perjuangan perempuan Indonesia, karena kongres perempuan Indonesia yang digagas Perempuan pada tanggal 22 Desember 2028 merupakan awal sejarah pergerakan perempuan Kongres tersebut juga merupakan tonggak sejarah gerakan perempuan, dimana untuk pertamakalinya 30 orangisasi perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia bertemu dan bersama-sama membahas masalah-masalah nasib perempuan dan anak, keluarga serta masalah kebangsaan. Kongres Perempuan Indonesia merupakan langkah strategis organisasi-organisasi Perempuan Indonesia dimasa itu, untuk mempersatukan kekuatan dan kepemimpinan organisasi perempuan, guna membahas bersama-sama persoalan-persoalan, kewajiban, kebutuhan dan upaya kemajuan perempuan, merumuskan agenda perjuangan bersama dan membahas masalah kebangsaan. Kongres perempuan Indoesia telah mampu merumuskan permasalahan dasar yang dialami oleh kaumnya, diantaranya mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan, Pemerintah wajib memberikan surat keterangan kepada perempuan pada waktu menikah, pemberantasan perkawinan anak, kursus kesehatan, pemberantasan buta huruf, dll.

Awal Mula Perjuangan Perempuan Indoensia dihapuskan, ketika masa Orde Baru berkuasa, peran perempuan dalam dunia politik semakin dikerdilkan. Pemerintah Orde Baru dengan sengaja memutarbalikan fakta sejarah gerakan politik perempuan Indonesia. Tanggal 22 Desember yang harusnya dirayakan sebagai “Hari Kebangkitan Politik Perempuan Indonesia”, malah dijadikan perayaan “ Hari Ibu”. Pengembalian posisi perempuan yang hanya dianggap sebagai ibu yang hanya mengurusi seputar persoalan domestik ( dapur, sumur & kasur ) telah menghapuskan jejak perjuangan politik perempuan dalam peta sejarah bangsa. Pada masa itu juga banyak organisasi perempuan dibubarkan secara paksa, seperti pembubaran Gerwani dilakukan dengan mencampuradukan isu pemberantasan Komunis didalamnya.

Setiap Organisasi Perempuan yang bertentangan dengan skema pembangunan jender penguasa dianggap sebagai bagian dari kelompok komunis. Organisasi – organisasi perempuan di era Orde baru menjadi organisasi fungsional. Dan menciptakan konsep baru bagi kaum perempuan dizamannya, yaitu tiga I ( Istri, Ibu, dan Ibu Rumah tangga ) Perempuan dalam konsep ini lebih ditempatkan sebagai pendamping suami, pendidik anak, dan Pembina generasi penerus bangsa. Dan pada masa itu menciptakan sebuah organisasi pada lembaga pemerintahan, yaitu “ Dharma Wanita”. Posisi perempuan pada Organisasi tersebut lebih kepada pendamping karir suami mereka, dibandingkan eksistensi mereka secara pribadi. Jadi kiprah apapun yang mereka berikan adalah untuk kemajuan karir suami mereka.

Sudah 91 tahun Hari Pergerakan Perempuan Indonesia, tapi belum dimaknai sebagai hari pergerakan perjuangan perempuan untuk mendapatkan keadilan dan persamaan hak. Kebaya masih dimaknai dengan peran perempuan sebagai IBU yang anggun, bukan sebagai symbol perjuangan perempuan. Serta masih diramaikan dengan lomba-lomba yang menempatkan perempuan diwilayah domestic, misalnya lomba tumpeng, masak dan senam. Bahkan acara- acara seminar yang digagas pemerintah ataupun Organisasi masyarakat sipil masih objeknya adalah perempuan. Seolah-olah perempuanlah yang harus diedukasi. Padahal dalam satu rumah tidak hanya perempuan yang tinggal, tetapi ada laki-laki dan anak-anak.
Posisi perempuan dilevel pengambil kebijakanpun belum menyadari pentingnya keberadaan mereka pada posisi-posisi strategis dalam perumusan kebijakan dan implementasi, karena sampai hari ini belum ada kebijakan yang melindungi dan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama. Sehingga makna dari peringatan tanggal 22 Desember adalah bagaimana perempuan melawan ketidakadilan gender, bahwa ada sejarah perjuangan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan. Karena sampai hari ini perjuangannya masih harus diperjuangkan…..
Panjang Umur Perlawanan,
Panjang Umur Perjuangan
Perempuan Indonesia….!!!
Selamat Hari Pergerakan
Perempuan Indonesia….!!!

Indramayu, 22 Desember 2019
Darwinih
Sekwil Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Barat

  • Bagikan

Comment