Negara Dan Kantong Kresek Plastik

  • Bagikan
Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembagunan Daerah) O'ushj Dialambaqa Atau Yang Lebih Dikenal Dengan Sebutan Pak Oo (Foto.Red)

Tanganrakyat.id, Indramayu-Melindungi segenap tumpah darah, begitulah bunyinya sebagai sebuah pertanggungjawaban Negara. Tanggungjawab Negara itu kemudian diserahkan sepenuhnya terhadap para penyelenggara Negara, kemudian apa yang disebut dengan Pemerintah(an), demikian tata Negara itu bicara, yang mana Pemerintah(an) itu mengemban anamat Negara untuk melindungi segenap rumpah darah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang terbentang dari Sabang hingga Marauke, berjajar pulau-pulau dan kepulauan, berbagai suku, adat istiadat, keyakinan (keberagamaan), bahasa dan ritualisme, yang kesemua itu dalam bingkai nusantara (ke)Bhineka-Tunggal-Ika(an).

Berdasarkan pengakuan Pemerintah via Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LKH), bahwa sampah plastik yang berada di (perairan) laut, Indonesia menempati urutan ke-2 setelah Negara Cina, yakni 14% tahun (setara +/- 64 juta ton/tahun) masyarakat menghanyutkan (membuang) kantong kresek plastik ke laut lepas. Lantaran kantong kresek plastik itu dianggap bermasalah, maka Pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan “berbaya“ terhadap kantong kresek plastik, yang kemudian menjadi gayung bersambut, kebijakan tersebut disambut gegap gempita sangat antusias oleh beberapa Pemerintah Daerah dan beberapa kalanngan yang disuarakan melalui televisi maupun medsos (media sosial), bahkan spanduk diet kantong plastik pun mewarnai hirup pikuknya medsos dan televisi.

Masalah Ke Masalah
Kantong kresek palstik dianggap menjadi masalah besar dan atau ancaman serius terhadap (lingkungan) kehidupan manusia dan semesta alam lainnya, itulah yang menjadi pokok alasan kebijakan Pemerintah tersebut dikeluarkan. Tidak ada alasan pokok lainnya yang dikedepankan. Dengan alasan pokok tersebut, maka kebijakan yang dikeluarkan adalah “BERBAYAR” akan kantong kresek plastik. Kebijakan berbayar tersebut besaran taripnya diserahkan ke daerah masing-masing kepada pengguna kantong kresek plastik tersebut, yang mana para penggunanya mayoritas golongan ekonomi menengah ke bawah. Suara yang berseliweran muncul di televisi dan medsos, ada yang menganggap berbayar Rp 200,00/kresek itu sangat murah. Kenapa tidak tidak Rp 10.000,00 atau Rp 20.000,00/kantong kresek plastik, karena itu untuk pembelajaran masyarakat.

Ada beberapa daerah yang telah menerapkan berbayar terhadap penggunaan kantong kresek plastik, dan pada 1/3/2016 mulai diberlakukan, karena konsumen yang berbelanja di Super Market (Toserba) dan Mini Market sudah diinformasikan fice to fice oleh pemangku kepada konsumen yang berbelanja.

Yang tersisa menjadi pertanyaan kita adalah apakah sekedar plastik yang berbentuk kantong kresek saja? Ataukan semua kantong atau bahan kemasan yang terbuat dari palstik (propelin) dan atau yang mengandung kadar plastik, baik yang kandungannya lebih dari 10% atau lebih. Jika argumennya kantong kresek plastik tersebut tidak hancur atau sulit (membutuhkan waktu tahunan) untuk hancur, sehingga menjadi ancaman serius terhadap lingkungan hidup, terutama yang dihanyutkan (dibuang) ke laut lepas, itukah?

Pertanyaan tersebut tidak terhenti sampai di situ saja, masih ada hal lain yang menyisakan pertanyaan pokok juga, antara lain, bagaimana mekanisme pemungutannya, penyetorannya dan pengawasannya, dan benarkah itu solusi mengatasi masalah yang sesungguhnya? Ataukah semata hanya sekedar sensasional atau kebijakan lipstic Menteri dan atau Pemenrintah mengeluarkan daya kejut yang latah terhadap area idea atau gagasan kreatif, karena jika Menteri atau Pejabat baru tidak mengeluarkan daya kejut sosial khawatir dianggap melempem, dan bisa juga sebagai alibi untuk menepis tudingan bagi-bagi jatah kursi yang kadung digemborkan tanpa syarat yang amat sangat lantang waktu itu digemakan dalam hiruk pikuk arus besar politik yang puluhan tahun telah dibuktikan dalam sejarah (kekuasaan) Pemerintahan di negeri ini.

Jika problema (ke)plastik(an) hanya berkutat dan atau hanya dilokalisir pendefisiannya menjadi hal yang berbentuk kantong kresek saja, yang sementara ini kita lihat sehari-hari untuk membawa barang kebutuhan pokok konsumsi sehari-hari yang mana kini dengan teknologi tinggi menjadi beragam warna, bentuk dan rupa dan dengan berbagai modelnya, maka betapa kita (terperosok) menjadi pandir dan atau keledai yang menarik beban di pundaknya tanpa kita tahu dan mengerti mengapa ada beban di pundaknya, karena kejujuran dan logika kita telah dihancurkan atau terbunuh sedemikian rupa. Maka, persoalan keplastikan harus didefinisikan dengan akal waras, logika waras dan kejujuran (kebeningan nurani) untuk mengurai definisi, pendefinisian dan atau memecah batu problem solving, sehingga kita bisa keluar dari kemelut persoalan palstik yang menjadi ancaman serius yang kini dalam banyak bentuk, yang kemudian kantong kresek plastik bukan lagi sebagai ancaman terhadap (laut) kehidupan, tetapi sebagai kontributor terhadap APBN/APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dan paling tidak, tidak lagi berbahaya lingkungan apalagi sebagai ancaman yang mencekam.

Jika kita hendak memecahkan dan menyelesaikan masalah, maka kita harus tahu dulu pohon dan akar persoalan masalahnya. Jika tidak, yang akan terjadi adalah dari masalah ke masalah baru yang justru (kadang) menimbulkan banyak persoalan dan masalah baru yang lebih delimatis, pelik dan rentan sosial dampak sosiologisnya atas kebijakan dan problema pokoknya.

Oleh sebab (hukum sebab akibat) itu harus kita urai, bukan kemudian justru dijadikan benang kusut dan kambing hitam. Plastik dan keplastikan tidak bisa didefinisikan dan juga tidak bisa pendefinisiannya terkungkung hanya pada kantong kresek saja, karena kantong kresek tersebut hanya sekedar bentuk, rupa atau model saja. Maka, plastik, dalam berbagai bentuk, rupa dan model untuk kemasan atau pengemas produk dan atau untuk lainnya harus didefinisikan atau pendefinisiannya dari substantif kadar atau kandungan (unsur) keplastikannya.
(O’ushj.dialambaqa, sebagai Penyair, Peneliti, Direktur PKSPD)

  • Bagikan

Comment