Subsidi Gas Elpiji 3 Kg Tidak Tepat Sasaran, Apa Kata Ahok

  • Bagikan
Subsidi Gas Elpiji 3 Kg Tidak Tepat Sasaran, Apa Kata Ahok (Foto. Red)

Tanganrakyat.id, Jakarta-Masyarakat mulai banyak memperbincangkan pengalihan subsidi Gas Elpiji 3 Kg yang disampaikan Komisaris PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok.Rencana pengalihan subsidi dari barang ke orang menjadi pilihan pola subsidi yang disampaikan oleh Ahok sebagai Komut.

Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean, pola penyaluran subsidi elpiji 3 kg ini sejak beberapa tahun terakhir memang terus menjadi pembahasan karena dianggap tidak tepat sasaran.

“Hal ini memang betul terjadi di lapangan bahwa banyak yang tak berhak untuk mendapat subsidi elpiji 3 kg justru memilih menggunakan gas epiji 3 kg. Di rumah-rumah, apartemen dan bahkan usaha-usaha yang tak layak menggunakan gas bersubsidi ini pun tanpa malu menggunakannya. Pernah juga dikaji penyaluran gas elpiji 3 kg secara tertutup agar subsidi tepat sasaran, tapi tak mudah juga pelaksanaannya dan hingga kini tak terealisasi,” ucap Ferdinand, Senin (7/9/2020).

Terkait ide pengalihan subsidi dari subsidi ke barang menjadi subsidi ke orang seperti yang dikatakan Ahok, Ferdinand mengatakan bahwa hal tersebut tidak mudah diaksanakan supaya menjadi tepat dan menjadi bermanfaat. Dia pun membeberkan beberapa alasan yang membuat hal tersebut menjadi tak tepat.

Alasan utama karena besar subsidi yang sekitar Rp 50 triliun apabila dibagi secara tunai ke masyarakat, jumlahnya akan sangat kecil dan bahkan bisa jadi salah penggunaan. Potensi tidak tepat sasaran juga besar mengingat data orang miskin di tiap daerah masih belum sesuai dengan realita. “Lihat saja contoh paling dekat pembagian bansos selama Covid berlangsung, data penerima di setiap daerah hampir kacau,” ujarnya.

Selain karena jumlah tunainya kecil dan bisa disalahgunakan, lanjut Ferdinand, kebijakan pengalihan ini pun akan berpotensi memicu kenaikan harga-harga produk UMKM di lapangan, karena harga jual produk akan menyesuaikan kenaikan harga elpiji.

“Bisa saja pelaku UMKM menerima subsidi tunai, tapi tak mencukupi jumlahnya, ini akan jadi masalah baru gejolak harga di pasar,” terangnya.

Dampak berikutnya menurut Ferdinand akan terjadi pada bisnis Pertamina sendiri. Karena subsidi sudah tidak ada, maka pemain lain bisa masuk ke bisnis elpiji dan menciptakan saingan usaha bagi Pertamina secara tidak langsung.

“Akan lebih buruk lagi ketika ada pemain baru di bisnis ini, masyarakat penerima subsidi bukannya membeli produk elpiji Pertamina tapi justru membeli produk saingan Pertamina menggunakan uang subsidi yang diterima. Tentu ini akan mengganggu bisnis Pertamina sendiri,” tegasnya.

Lain halnya dengan Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah) O’ushj Dialambaqa menanggapi hal diatas menyampaikan beberapa hal diantaranya yaitu pemerintah tidak akan mungkin bisa mengontrol atau mengawasi pelaksanaan distribusi lpg 3 kg yang bersubsidi tersebut karena pemerintah juga keliru membentuk instrumen pengawasan dilapangan seperti organisasi HISWANA Migas dan Korda yang berada disetiap daerah.

“Mereka semua pagar makan tanaman sebab yang berada disitu semua pemesin bisnis di lpg 3 kg, jadi tidak mungkin untuk bisa mengawasi distribusi subsidi lpg 3 kg tersebut. Pastilah subsidi lpg 3 kg dijamin tidak tepat sasaran, apalagi Pertamina mengambil kebijakan bersama Pemda, Hiswana Migas dan Korda dengan politik distribusi banjir dan seret (kelangkaan lpg 3 kg),” ujar O’ushj Dialambaqa, Senen (7/9/2020) yang biasa dipanggil Pak Oo.

Dan juga BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang terlibat dalam pelaksanaan pengawasan (audit) pelaksanaan distribusi juga menerapkan sistem pengawasan pelaporan Agen untuk bisa melakukan direkayasa pelaporannya setiap bulannya. Format pelaporan yang diseting dan didesain dalam bentuk form laporan penjualan dan pemakaian yang harus dilaporkan pangkalan atau agen harus merekayasa fakta dan bukti riil dilapangan. Bahkan ada agen yang sempat keceplosan jika pelaporannya dijadikan temuan harus diluruskan dan atau dibarter dengan “DUIT” sehingga temuan BPK tersebut tidak jadi masalah. Maka sampai kapanpun Pemerintah tidak akan bisa mengawasi peredaran subsidi lpg 3 kg tersebut.

Kebijakan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina juga bukan mau menyelesaikan masalah karena pengalihan subsidi barang ke orang justru membuat daftar panjang masalah baru yang bersalah juga pelaksanaannya. Dalam persoalan Pertamina dengan Migasnya penuh mafia sehingga menyebabkan harga migas menjadi sangat mahal dan berkualitas buruk. Ahok mustinya memberantas mafia migas tersebut baik yang berada dalam Pertamina itu sendiri maupun yang diluar pagar Pertaminanya. Tapi apa Ahok mampu. yang pasti Ahok tidak akan bisa memberantas itu mafia migas karena itu sudah sistematik dan masif karena semua itu berada dalam sumbu kekuasaan. Jadi negeri ini sampai kapanpun tidak akan bisa memberantas mafia karena dalam sumbu-sumbu kekuasaan tersebut berkibarlah bendera-bendera kepartaian. Kebijakan negeri ini dikendalikan oleh kepentingan partai politik dan politik partai yang bersekutu dengan para mafia-mafianya.

Maka satu-satunya jalan pemberian subsidi tersebut harus dicabut dari pada tidak tepat sasaran alias adanya kerugian perekonomian negara karena subsidi aja terus disalahgunakan berbagai pihak. Tinggal persoalannya, apakah Pemerintah bisa dan atau mau jujur dalam menentukan harga jual lpg 3 kg tersebut hingga ke pasar bebas tersebut. Artinya, sesungguhnya berapa biaya produksi, harga pokok dan harga jualnya sehingga posisi Pemerintah tidak menjadi Kartelis-kartelis atau bourjuasi.

Baca juga:Gas Melon Menghilang Dari Pasaran Rakyat Jelata Menjerit

Jika pemerintah mau atau bisa jujur, tentu harga lpg 3 kg masih bisa dijangkau rakyat jelata sekalipun subsidinya dicabut, tetapi saya sangat tidak percaya Pemerintah mau atau tidak bisa jujur untuk menghitung komponen harga itu semua. Jadi Pemerintah tidak akan mau jujur, sehingga harga lpg tetap menjadi mahal karena kebijakan mengambil keuntungannya akan dikendalikan kepentingan kekuasaan politik partai, sehingga pasal 33 UUD’45 hanya sebuah slogan, jargon dan retorika dan kita semua hanya bisa menatap fatamorgana subsidi. (Red)

  • Bagikan

Comment