O’ushj.dialambaqa: Meluruskan (Buku) Sejarah (Wiralodra) Indramayu

  • Bagikan
Ushj Dialambaga Pemerhati masalah sosial dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah. (Foto.Red)

Tanganrakyat.id, Indramayu-Tatkala H.A. Dasuki (mantan Bupati Indramayu) semasa hidup dan tinggal tinggal di jalan Kartini (sekarang samping Badan Keuangan Daerah), saya berkesempatan bolak balik beberapa kali untuk menemui H.A. Dasuki untuk memperjelas ketidakpahaman saya terhadap apa yang ditulisnya, di mana posisi H.A. Dasuki tidak saja sebagai penulis tetapi sekaligus Ketua Tim Penulis Buku “Sejarah Indramayu”.

Buku Sejarah Indramayu (SI), saya dapatkan pada saat di bangku SMP kelas 3 dari bapak saya yang kebetulan waktu itu di DPRD Indramayu dan mengikuti sidang paripurna penetapan hari Jadi Indramayu berdasarkan buku Sejarah Indramayu tersebut. Setelah diparipurnakan DPRD kemudian diterbitkan 1977 dan dibagikan kepada semua anggota legislatif, kemudian buku tersebut saya baca ulang setelah saya bergaul dan bergumul dengan dunia sastra, filsafat dan kebudayaan di bangku SMA dan Perguruan Tinggi.

Kesempatan pertemuan saya dengan H.A. Dasuki adalah untuk mendialogkan dan mendiskusikan persoalan “Buku Sejarah Indramayu” dan persoalan “kesejarahan Wiralodra dan Endang Dharma” yang menjadi tokoh sentral dalam buku tersebut.

Latar Penulisan

Pengakuan H.A. Dasuki kepada saya, latar penulisan buku “Sejarah Indramayu” adalah berdasarkan cerita (lebih tepat dikatakan dongeng) dari mulut ke mulut, katanya, ada yang menyebut Babad, Legenda atau cerita rakyat. Cerita dari mulut ke mulut itu dituturkan dan atau si penceritanya hanya beberapa rorang saja, salah satunya adalah Soemardjo (Guru Bahasa Belanda SMAN Indramayu), dan disebutnya lagi nama Warnali dari Dikbud (Dinas Kebudayaan, waktu itu). Tidak banyak orang untuk dijadikan referensi penulisan buku “sejarah Indramayu” tersebut.

Mengapa buku “Sejarah Indramayu” itu ditulis, apa urgensi daan fungsinya? Argumentasi pokok yang dijadikan landasan awal oleh H.A. Dasuki adalah, kita malu kalau kota (Indramayu) tidak punya hari jadi atau Hari Ulang Tahun. Ada desakan berbagai kalangan waktu itu. Maka, untuk memperingati Hari Jadi Kota Indramayu itu harus dibuatkan dan atau harus ditulis, namanya buku Sejarah Indramayu, tokohnya “Wiralodra” dan “Endang Dharma.”

Buku “Sejarah Indramayu” itu berangkat dan ditulis dari cerita dari mulut ke mulut berdasarkan cerita Babad Indramayu. Bukan dari hasil penelitian sejarah.

Kejujuran pengakuan H.A. Dasuki tersebut, memperjelas premis tentang Wiralodra dan Endang Dharma, yang kemudian melahirkan sintesa dan antisesa, dan argumentasi apa dalam menulis buku tersebut serta apa landasan pijak terhadap tokoh sentral sejarah Indramayu tersebut, dalam hal ini “Wiralodra” dan “Endang Dharma,” hasil penelitian ilmiahkah (akademik) ataukah yang lainnya?

Ternyata, diakuinya, bukan dalam konteks dan konten kebenaran sejarah, sehingga kesejarahannya dengan sendirinya tidak perlu lagi diperdebatkan, karena itu berangkat dari dongeng, di mana dongengan itu gugur dalam kesejarahan. Sejarah harus ada peristiwa, dan berarti pula harus ada pelaku sejarah dan saksi peristiwa sejarah (yang dalam metodologi hadis harus terpenuhinya rowi dan sanat tanpa terputus), sehingga kesejarahannya bisa dipertangunggungjwabkan. Bukan “konon.” Bukan “jika itu benar.” Bukan pula “bisa jadi” dan “mungkin.” Mengapa, karena kita bicara atau membicarakan sejarah, bukan sedang membicarakan fiksi dalam cerita.

Pengakuan H.A. Dasuki memanjangkan benang merah yang paralel dengan apa yang dikatakan Bupati H.A. Djahari, waktu itu, dalam paripurna Dewan (DPRD), bahwa, dengan adanya peringatan Hari Jadi Indramayu, resikonya kita harus menyiapkan anggaran (maksudnya APBD) setiap tahunnya. Dewan waktu itu, aklamasi untuk pentingnya ada Hari Jadi Indramayu. Jadi, fungsi buku Sejarah Indramayu itu sebagai landasannya.

Buku yang saya susun itu bukan harga mati, dan tak mempersoalkan apakah benar kesejarahannya. Hanya sebatas untuk kepentingan Hari Jadi Indramayu, maka buku Sejarah Indramayu itu disusun dan diterbitkan. Begitulah pengakuan H.A. Dasuki dalam penjelasannya kepada saya (O’ushj.dialambaqa).

Tetapi, keniscayaan yang tak terbantahkan adalah Buku Sejarah Indramayu yang disusum oleh H.A. Dasuki dkk itu kemudian dijadikan referensi utama (pokok) bagi para penulis lainnya dikemudian hari. Buku-buku yang terbit kemudian merupakan turunan dari Buku Sejarah Indramayu-H.A. Dasuki dkk., sehingga tidak bisa dikatakan “menggelapkan sejarah atau kesejarahan.”

Buku Supali Kasim

Menapak Jejak Sejarah Indramayu adalah buku Supali Kasim, terbit Desember 2011 dengan referensi utama buku “Sejarah Indramayu” (SI.- H.A. Dasuki, dkk, 1977) dan Dwi Tunggal Pendiri Darma Ayu Nagari (DPDAN- H.R. Sutadji K.S, 2003), dengan daftar pustaka sebanyak +/- 57 buah dan banyak kutipan untuk memperkuatnya.

Bukunya Supali, merupakan turunan dari resume referensi pokoknya, yaitu SI. kemudian ditambah bahan bacaan dari buku Babad Dermayu (BD) dan Legenda lainnya. Tetapi, dalam substansi tokoh sentral, yaitu Wiralodra dan Endang Dharma adalah bersumber dari SI dan DPDAN, sekalipun kemudian memuat juga ringkasan cerita dari BD dalam bentuk mapacat (yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia), yaitu: 1. Sinom, 2. Kinanti. 3. Sinom. 4. Kinanti. 5. Durma. 6. Dangdanggula. 7. Durma. 8. Dandanggula. 9. Sinom. 10. Pangkur. 11. Durma. 12. Asmarandana. 13. Durma. 14. Sinom. 15. Pangkur. 16. Kasmaran.

Kelebihan buku Supali adalah ada +/- 15 kata, yang merupakan keraguan, kesangsian dan atau pertanyaan, tetapi keraguan dan atau pertanyaan tersebut tidak dijawabnya atau tidak diselesaikan, dibiarkan menggantung, meng-awang-awang, yaitu: Bisa jadi. Mungkin. Sangat mungkin. Konon. Tampaknya, Jika benar. Jika yang dimaksud. Ada yang menyebut. Ada yang menyebut pula. Setidak-tidaknya telah menemukan. Mungkin saja. Jika benar. Sangat mungkin (hal. 36).

Sebenarnya pernah dijumpai benda-benda arkeologis-yang mungkin dari masa perundagian (hal. 36). Selain itu tidak ada sumber yang menyebut Singalodra adalah Wiralodra I maupun Mangali (mungkin maksudnya Marngali, hal. 181). Sebenarnya cerita dari mulut ke mulut (hal. 207). Yang seakan-akan menceritakan peristiwa yang sudah terjadi. Diakui cara pandang seseorang terhadap peristiwa sejarah pasti akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tradisi lisan. Sejarah lisan. Sejarah lisan Indramayu yang menjadi ingatan kolektif masyarakat Indramayu, bisa jadi merupakan sumber primer jika memenuhi syarat (padahal tidak memenuhi syarat).

“Sejarah Indramayu” tetap diselimuti kabut pekat yang hitam. “Sejarah Indramayu” sebagai perjalanan dan eksitensi manusia di atas panggung kehidupan di kelampauan itu, meski tak berimbas secara langsung, cenderaung memetakan identitas dan jati diri manusia Indramayu yang “gamang”, karena ketidakjelasan identitas dan jati diri, serta berada pada pusaran sejarah peteng.

Untuk itu, pertanyaannya adalah, apakah Supali Kasim itu memposiskan dirinya sebagai Penulis Sejarah, Peneliti Sejarah, Kritikus Sejarah, Pemerhati (Apresiator) Sejarah, Akademisi Sejarah, atau guru pengajar sejarah yang textbook? Kita tidak menemukan benang merah tersebut, kecuali kita hanya bisa katakan sebagai guru pengajar sejarah yang textbook. Mengapa?

Jika dikatakan sebagai penulis sejarah, buku Menapak Jejak Sejarah Indramayu, merupakan resume atau turunan dari dua sumber buku yang dibacanya, yaitu SI dan DPDAN, di mana SI dan DPDAN berpijak pada BD yang dari mulut ke mulut ceritanya. Supali Kasim tidak menguji keshahikan sejarah atau kesejarahannya atas peristiwa sejarah, pelaku sejarah dan saksi peristiwa sejarah dengan sentral sejarah yaitu Wiralodra dan Endang Dharma dan juga tokoh penting lainnya, seperti Ki Tinggil, Ki Sidum dan Dampu Awang (lari ke Palembang), apakah dengan melakukan riset, atau menelaah ulang secara kritis atas referensi skundernya, karena referensi primernya tak ada, jika kemudian ada, tetap harus dibedah secara kritis dengan metodologi akademik, logika akademik atau akal waras akademik, karena Supali Kasim latar belakang akademiknya S-2 (Pasca Sarjana).

Sebagai kritikus sejarah, Supali Kasim tidak melakukan kritik atas SI, DPDN dan BD, karena tetap menyimpulkannya sebagai buku sejarah, padahal itu bukan buku sejarah, tetapi buku kumpulan dongeng, sekalipun Supali Kasim membicarakan buku-buku tersebut. Padahal, membicarakan hal: jika benar, mungkin, konon, dan seterusnya.

Jika sebagai peneliti sejarah, buku itu ditulis tanpa pijakan hasil penelitian yang metodologis akademik, sehingga gugur. Jika sebagai kritikus sejarah, buku itu pun tidak melakukan kritik, karena 15 kata keraguan atau kesangsian itu tidak terjawab dan atau tidak dijawab, bahkan akal waras dan logika akademik pun tidak dipakai, diabaikannya. Bahkan yang menggelikan, tidak bisa membedakan apakah yang dimaksud dengan “sejarah lisan” dan tradisi lisan dalam sejarah, karena peristiwanya fiksi, pelakunya fiksi dan saksi kesaksian kesejarahannya juga fiksi belaka. Sebagai peneliti sejarah harus mampu membongkar kegelapan sejarah dan penggelapan kesejarahan.

Sebagai pemerhati sejarah juga tidak terlihat, karena tidak menarik benang merah atas fakta dan peristiwa sejarah Purworejo, apalagi Bagelen, Banyu Urip, Demak dan Sriwijaya Palembang. Jika sebagai pemerhati sejarah, tentunya harus kritis, dan keragu-raguan dan atau pertanyaan-pertanyaan yang menyeliputi kesangsian sejarah harus mampu menjawab ke-peteng-annya.

Sebagai akademisi sejarah, jauh lebih gelap, lebih peteng istilah Supali Kasim, karena seorang akademisi harus kritis, apa itu sejarah, apa itu peristiwa sejarah dan apa itu sejarah lisan. Tetapi, sebagai guru sejarah yang textbook, memang tidak perlu kritis, mau benar atau tidak dalam buku itu dalam kesejarahannya, tetap akan dikatakan buku sejarah.

Kelebihan lainnya, Supali Kasim tak ada premis yang mau digugat dalam bukunya. Padahal, jika SI dan DPDAN itu menjadi premis dalam tesanya (suatu persoalan atau problem tertentu, yaitu kesejarahan tokoh sentralnya, Wiralodra dan Endang Dharma), maka SI dan DPDAN serta BD seharusnya melahirkan dialektika intelektual bagi diri Supali Kasim sendiri, tetapi ini kemudian terkuburkan, sehingga tidak melahirkan antitesa (suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis terhadap tesa, argumen dari tesanya). Maka, kemudian, apa sintesanya Supali Kasim, yaitu dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sintesa, yaitu berada dalam pusaran “sejarah peteng”, baik itu SI maupun DPDAN, termasuk Menapak jejak Sejarah Indramayu dalam keniscayaannya.

Jika saja Supali Kasim menyempatkan diri untuk berdialog dan berdialektika intelektual dengan H.A. Dasuki untuk meminta penjelasan jejak sejarah Wiralodra dan Endang Dharma, maka buku SI maupun DPDAN tidak bisa dikatakan buku sejarah, karena fakta dan peristiwa sejarah lampaunya tidak ada, hanya cerita (dongeng) dari mulut ke mulut. Bagaimana bisa dikatakan sejarah?

Supali Kasim tidak mau tahu, apakah itu definisi sejarah lisan itu? Jika itu dikatakan sejarah lisan, maka secara metodologi harus ada fakta dan peristiwa sejarahnya. Dengan kesimpulan bukunya, Supali Kasim mengatakan, berada dalam pusaran sejarah peteng, berarti SI dan DPDAN adalah sejarah yang memuat fakta dan peristiwa masa lampau, Wiralodra dan Endang Dharma.

Babad, belum tentu itu mengandung sejarah, jika kebenaran kesejarahannya gugur, peristiwa sejarahnya dan fakta sejarahnya tak ada, dalam hal ini BD dijadikan sumber dalam SI maupun DPDAN, termasuk oleh Supali kasim..

Supali mengutip, Kuntowijoyo, Taufik Abdulah, Reiza Dienaputra, James Dananjaya, dan Bennedict R Anderson, H.J. de Graaf, Hariyono, Adolf Heuken S.J, P. Lim Pui Huen, dkk. Jika saya lihat dari kutipan yang dicuplik dalam bukunya, seharusnya Supali Kasim mampu menarik sintesa bahwa “Wiralodra dan Endang Dharma adalah tokoh fiksi,” bukan tokoh sejarah, tetapi anehnya, ternyata dalam hal. 104, Wiralodra, Tokoh Sejarah Ataukah Fiksi juga tidak memberikan kesimpulan sebagai fiksi.

Begitu juga pada Bab VI, hal. 135, Misteri Ketokohan Endang Dharma Ayu juga sama, sekalipun Supali mengutip Nina H. Lubis, 200:182 yang tidak relevan sama sekali dengan persoalan misteri ketokohan Endang Dharma Ayu, karena Nina H. Lubis tengah menggugat kegenderan, di mana wanita (perempuan) sebagai subordinasi kaum lelaki, yang oleh Supali Kasim justru diparadokskan dengan Endang Dharma yang berdasarkan historiografi tradisional (BD) adalah sosok yang penuh nuansa militer. Jadi lucu, dan kegenitan akademis yang sama sekali tidak akademik.

Yang lebih fatal, Supali Kasim menguatkan cerita (dongeng) bahwa Endang Dharma adalah sedarah dengan Nabi Muhammad SAW (- Fatimah + Ali bin Abu Tholib-Hasan bin Ali-Zaenal Abidin-Maulana Jumadil Kubro-Mahdlar Ibrahim-Siti Maemunah/Endang Dharma/Gandasari). Sedangkan Wiralodra nasabnya adalah Gajah Mada-Jaka Kuat-Anggayuda – Mangkuyuda – Gagak handaka – Gagak Singalodra – Wiralodra/Indrawijaya.
Dengan latar belakang akademiknya yang S-2, seharusnya Supali Kasim paham dan menguasai betul dengan persoalan metode dan langkah-langkah penulisaan sejarah, yang menurut Nogroho Notosusanto ada 4 (empat) langkah, yaitu:
(1). Heuristik, adalah langkah bagaimana kita akan mengumpulkan sumber sejarah terkait dengan tema sejarah yang kita tulis dalam kajian. Sumber sejarah adalah bahan-bahan yang kita gunakan untuk memperoleh data, yaitu dua sumber dalam metode heuristik, yakni sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer, merupakan sumber yang diperoleh dari orang yang melihat langsung dan mengalami peristiwa sejarah yang akan kita kaji. Sumber skunder, merupakan sumber yang diperoleh dari orang yang tidak melihat langsung dan tidak mengalami peristiwa sejarah atau bisa disebut kesaksian dari orang lain.

(2). Kritik Sumber, adalah usaha untuk menguji, menilai serta memilah/menyeleksi sumber yang telah kita peroleh, hal ini dilakukan agar kita memperoleh sumber yang benar-benar asli (autentik). Kritik sumber dibagi menjadi 2 langkah, meliputi, Kritik intern, adalah langkah yang digunakan untuk mengetahui kebenaran sebuah isi sumber yang kita peroleh dari langkah heuristik. Kritik ekstern, adalah beda dengan kritik intern yang menguji kebenaran isinya. Kritik eksten lebih menekankan kepada keasslian sebuah sumber sejarah/dokumen sejarah yang digunakan dalam penulisan sejarah.

(3). Interpretasi atau bisa disebut sebagai penafsiran, adalah proses pengumpulan fakta-fakta dengan melalui langkah penafsiran fakta sejarah pada kritik sumber. Para sejarawan akan menafsirkan fakta yang ia dapat dari sumber, tanpa sebuah langkah penafsiran sejarawan, sebuah data tidak bisa bicara sendiri. Ada dua cara bagi kita untuk melakukan interpretasi yakni analisis dan sintesis yang artinya mengurai dan menyatukan.

(4). Historiografi atau penulisan sejarah. Pada tahap ini penulis tidak hanya harus pandai dalam hal teknis seperti mengutip dan penggunaan catatan, tetapi dibutuhkan analisis dan penggunaan pikiran kritis. Penulis menyajikan data yang telah terkumpul dalam karya ilmiah, ini merupakan metode atau tahap akhir yang harus dilakukan oleh penulis sejarah.

Jika kita membacanya secara cerdas, maka buku “Menapak Jejak Sejarah” itu, Supali Kasim mengabaikan metode dan lanmgkah-langkah dalam penulisan sejarah, sekalipun Supali Kasim telah tamat membaca SI, DPDAN, BD dan lainnya dari cerita yang ada dalam buku Babad daerah lain, seperti Cirebon, yang semua itu merupakan sumber skunder yang luput dari kekritisannya dan atau dari keintelektualannya.

Pertanyaanya adalah, mengapa dan untuk apa menulis buku itu (Menapak Jejak Sejarah Indramayu)? Hanya Supali Kasimlah yang tahu dan yang berhak menjawab atas itu semua. Tetapi, yang menjadi catatan penting adalah bahwa sejarah harus ada peristiwa kesejarahan, harus ada pelaku sejarah, harus ada saksi peristiwa yang mensejarah dan harus ada bukti-bukti sejarah sebagai saksi bisu atau kesaksian bisu, sehingga kita tidak melakukan penguatan penggepalan sejarah dalam kesejarahannya. Pertanyaan berikutnya, apakah Supali Kasim seperti apa yang dikatakan Anatole France dalam Wiratmo Soekito (1984), “pada umumnya orang tidak membaca, dan jika membaca maka ia tidak mengerti, dan jika ia mengerti maka lekas lupa.”

Sejarah memang selalu dimenangkan oleh kekuasaan (yang bertahta, rezim penguasa), tetapi kebenaran sejarah akan dinilai atau dimenangkan oleh kebenaran peristiwa sejarah itu sendiri. Kebenaran sejarah tidak bisa dibungkam apalagi dikuburkan dalam kegelapan demi kekuasaan.*****

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD). Accontant Freelance. Tinggal di Singaraja. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

  • Bagikan

Comment