Kambing Hitam Dan Hitamnya Kambing

  • Bagikan
Musyaddad Alumni FE Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Angk. 1984 (Foto.Red)

Tanganrakyat.id, Indramayu-Kambing sebenarnya sebagai makhluk ciptaan sang Khalik tidak pernah mewarisi dosa kultural, bahkan sebagai makhluk hidup dalam bentuk hewan, dia
terlepas dari beban warisan dosa apapun, dan berkaitan dengan kodrat jenis warnapun; hitam, putih sepenuhnya menjadi hak preogratif sang Pencipta.

Dalam sistem ekologi peranan kambingpun tak kalah penting dibandingkan ciptaaan sang Khalik lainnya. Kita harusnya tidak pernah lupa bahwa manfaat sang kambing
bagi manusia; dari bulu, daging sampai kotoran kambing bermanfaat sesuai
dengan fungsinya. Lalu kenapa kemudian manusia di luar otoritas dunia kebinatangan menempatkan sang kambing dalam posisi marginal secara sosio kultural dan kambingpun ditempatkan pada konotasi yang negatif. Pertanyaannya
kemudian adalah apa yang salah dari keberadaan kambing.

Adalah manusia yang pada hakekatnya adalah mewarisi hipokrisasi dan memiliki kecenderungan di beberapa hal dan urusan, kebiasaan dan selalu latah
mengambil alih kewenangan atas otoritas bumi dan langit. Hipokritnya terletak ketika menghadapi permasalahan yang dilematis dan mengganggu kepentingannya, manusia sering melimpahkan kesalahan pada orang lain bahkan tidak hanya menyalahkan orang lain, sang kambingpun menjadi sasaran tembak
untuk disalahkan. Sistem tata nilai dibangun dan kita sepakati bersama.

Tetapi ironisnya adalah kita pulalah sebenarnya sumber segala kekisruhan dan kekacauan karena pengingkaran dan penafian atas apa yang dibangun dan disepakati. Kita pulalah yang sebenarnya gagap dan gagal memanusiakan diri. Kita
selalu mengumbar dan membiarkan bahkan mereduksi diri atas manusia
kemanusiaan kita.

Celakanya tidak semua dari kita secara elegan mau bertanggungjawab atas terjadinya segala kekisruhan dan kekacuan yang dibuatnya sendiri. Kita selalu cerdik dan pandai melakukan alibi dan kita juga sudah terbiasa untuk tidak bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan dan melimpahkan kesalahan kepada orang lain.Setidaknya sang nasibpun
dipetakompli menjadi sebuah keniscayaan yang kebaradannya layak untuk digugat.

Energi kita terkuras habis hanya untuk memahami ketidakmengertian dan
kengungunan diri kita sendiri. Kadang langit berubah menjadi jingga dan matahari
berubah menjadi merah saga. Udara menjadi pengap dan sumpek di tengah para kecoa yang berpesta pora dan kita terlempar dan tertatih di sudut gelap yang panjang dan tanpa batas.

Sementara disisi lain pemberitaan tentang mega proyek korupsi, konflik sosial paska pilkada sebagai akibat dari kegagalan kita memahami demokrasi secara utuh, bagai gemuruh ombak dan angin puting beliung yang terus mendesing di telinga dan ruang hampa serta udara yang kita
hirup. Selebihnya hanya menyisakan pertanyaan yang mengawang dan
perenungan atas noktah yang bernama nafsu, keserakahan dan kepongahan yang lahir dan mengembrio dari yang namanya kekuasaan.

Lalu pertanyaan yang tersisa atas hiruk pikuk kesemuanya adalah apakah kita masih layak menyimpan sedikit akan asa bahwa nurani kemanusiaan kita tidak terobek dan ternganga meluka. Lantas bagaimana kita menyikapi tragedi kemanusiaan yang bernama proses marginalisasi sosial, politik, ekonomi, hukum
bahkan budaya, ditengah pergolakan pemikiran dan kemampatan menasbihkan substansi tentang apa sosialnya politik, budayanya politik, ekonominya politik.

Belum selesai disitu kita disergap oleh pertanyaan tentang apa sosialnya hukum, sosialnya ekonomi, atau membalik antara subyek dan obyek dari kesemuanya dan ini sering menjadi sesuatu yang menyeruak di tengah kepenatan dan keletihan
jati diri kemanusiaan kita. Kecuali bagi kita yang “tidak”, kita yang tidak pernah mau bersinggungan dengan akar masalah, kita yang jauh dari bau busuk lelehan keringat kehidupan. Biasanya “kita yang tidak” merupakan produk hangat sarang burung, dimana pragmatisme dan ovunturisme yang menggejala secara pejal
dalam life style hedonis, puritan, dimana di dalamnya sarat dengan kekenesaan, manja, cengeng, yang membuatnya kehilangan kepekaan dengan eksistensi nuraninya. Celakanya dan kalau boleh disebut sebagai sebuah tragedi terletak
pada mengendemi dan mengguritanya habit tersebut.

Kembali ke pokok persoalan, sebenarnya kita tidak pernah tahu kenapa kambing ada yang berwarna hitam, begitu juga sejujurnya kita tidak pernah tahu kenapa kambing juga memiliki warna-wrana lain selain hitam. Kita hanya tahu dan paham semuanya adalah adi kodrati atas skenario sang Pencipta.

Mungkin sama dengan ketidaktahuan kita, tentang sejak kapan kita selalu gagal untuk dapat bertanggungjawab atas keputusan, tindakan, perilaku yang kita lakukan sendiri. Mungkin kita juga tidak pernah tahu kenapa lebih suka menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan dan kegagalan-kegagalan yang kita perbuat.

Pertanyaan besarnya adalah kenapa kita lebih merasa aman dan survival dengan menobatkan diri sebagai “pecundang” dan mungkin satu pertanyaan lagi, apa relevansinya
kegemaran kita memakai idiomatik “kambing hitam”. Apa yang salah dari
kambing dan warnanya sehingga digunakan kita dalam persepektif dan konotasi yang miring. Seandainya saja kalau komunitas kambing tahu, mungkin akan melakukan protes dan mengajukan resolusi, setidaknya para kambing akan

melakukan dan melayangkan somasi demi melindungi privacy dan hak-hak
kebinatangannya. Untungnya sosok kambingpun punya kodrat sikap dan kearifan tersendiri. Seperti kerelaannya ketika seluruh nasib atas denyut nadi dan tarikan nafasnya berada serta berakhir di tangan di tukang jagal dan keihklasannya dikonsumsi manusia. Sebuah pembelajaran tentang kesetiaan terhadap adi
kodrati.

Disini tidak ada pemberontakan atau puritanisme, yang lahir adalah
kepasrahan dan keikhlasan dalam peran-peran yang diskenario dan disutradarai sang Khalik sebagai Sang Maha Pencipta. Ironinya kita sebagai manusia gagap menterjemahkan kesemuanya, kita terlalu sibuk menelikung dan membiarkan serta memuja keliaran syahwat
material sehingga kita lupa dan terserabut dari akar dan jati diri atas adi kodrati manusia sebagai hamba-NYA.

Ketika ini mengejawantah menjadi pilihan sikap, sudut pandang, isme dan perilaku, adalah sebuah keniscayaan sebenarnya kita sangat merindukan kesadaran transedental kolektif yang menstrukultural dan membumi. Toh di sadari atau tidak, sebenarnya kita menyimpan kerinduan yang
dalam untuk mengembalikan diri kita sebagai manusia yang sejati, manusia yang seutuh-utuhnya manusia.

Indramayu, Januari 2021
Musyaddad
Alumni FE Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Angk. 1984
Jl. Raya Singaraja no. 4/C-112 km 4 Timur Indramayu Jawa

  • Bagikan

Comment