Demokrasi Yang Memar Dan Terkapar

  • Bagikan
Musyadad Alumni FE Angakatan 1984 Universitas Pembangunan Nasional (UPN “Veteran”) Yogyakarta. Tinggal di Indramayu (Foto. Red)

Tanganrakyat.id, Indramyu-Catatan sudut dari pinggiran atas pelaksanaan pemilihan kepala desa Demokrasi tiba-tiba kehilangan roh dan marwahnya didalam konstelasi pemilihan kepala desa.

Demokrasi yang menjadikan etika
dan moral menjadi pijakan utama, tersungkur tak berdaya dan
kehadirannya seperti hantu yang mengerikan dan meluluh lantakan
seluruh logika dan rasionalitas akal waras manusia.

Demokrasi terserak ditangan wajah-wajah pemburu kekuasaan. John Locke di alam sana mungkin ngungun dan menangis tersedu-sedu melihat
pertunjukan demokrasi yang terjadi pada pelaksanaan pemilihan
kepala desa di Kabupaten Indramayu yang dilaksnakan secara
serentak pada tanggal 13 Desember 2017 yang lalu.

Montesque nanar dan pengap ketika demokrasi hanya sekedar dimaknai sebagai cara untuk mencapai kekuasaan, dengan mengkesampingkan tata nila moral dan etika. Sebenarnya demokrasi sebagai sebuah sistem adalah sebuah pilihan dari sekian sistem yang tersedia dalam rangka upaya bersama
untuk menjalankan tata kelola berbangsa dan bernegara.

Demokrasi sebagai sebuah sistem bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan negara yaitu memakmurkan dan mensejahterakan rakyat. Untuk
mncapai itu perlu dihadirkan pemimpin untuk mengelola tujuan tersebut dan demokrasi punya cara dan prosesi sendiri untuk memilih sang pemimpin yaitu seperti yang kita kenal dengan nama pemilihan umum dan kita memiliki terminologi pemilu sebagai ;
pemilu presiden dan wakil presiden/pilpres, pemilu legislatif/pileg,
pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah/pilgub/pilbup dan
pemilihan kepala desa/pilkades.

Tujuan yang ingin dicapai dari semua terminologi adalah sama yaitu melahirkan pemimpin yang diamanatkan untuk terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Ironinya adalah terletak pada pemaknaan dalam mengartikan
demokrasi. Demokrasi yang lahir dari upaya untuk tidak melahirkan
sistem yang bermodel pada tautan tuan dan hamba, tiba-tiba terjadi
pergeseran pemaknaan dan pengertian dan ini membuat kita
tersesat dalam rimba yang tak berujung. Persoalannya adalah di kita
demokrasi ternyata tidak melahirkan pemimpin tapi melahirkan
monster yang mengerikan yang bernama penguasa. Kita mungkin
sepakat dan tahu bahwa dalam kekuasaan sangat kikir dalam hal
kebaikan dan kebajikan, dengan kata lain dalam kekuasaan hanya
sarat dengan nafsu keserakahan dan ketamakan serta sarat dengan
penghalalan cara untuk mencapai tujuan. Dalam kekuasaan, moral
dan etika hanya sebagai jargon dan praktek manipulatif dalam
rangka upaya mencapai dan mempertahankan kekuasaan penguasa
itu sendiri.

Balik dalam konteks pemilihan kepala desa, kita dipertontonkan dan disuguhi panggung teater akrobatik yang lahir dari pengarang cerita atau penulis skenario, sutradara dan pelakon serta penonton yang gegap gempita dirasuki oleh kegagalan pemaknaan menjadi
sebauah kebenaran. Dimana nafsu dan kepongahan telah mampu meluluhlantakan akal waras yang bernama rasionalitas.

Kita mungkin hanya mampu mengurut dada dan bernafas sesak ketika demokrasi dan masa depan masyarakat hanya dipertaruhkan dengan ; ¼ kg
gula, 2 bungkus/sachet teh, 1 sachet kopi dan sebongkah amplop yang berisi dikisaran Rp 50.000,00 – Rp 200.000,00 serta sebungkus nasi. Pertanyaannya kemudian adalah sedemikian murahkah nilai demokrasi dan masa depan dipertaruhkan..?.  Atau memang
pragmatisme sudah berakar akut dan mendaulat seluruh gerak

langkah dan pikiran kita sehingga kita tidak pernah merasa malu dan
risih hadir dengan wajah yang tidak berwajah atau memang karena
kita sudah terlalu lama berada dan terjebak dalam kesumpekan,
keruwetan dan kesemrawutan hidup yang tak memiliki sublimasi
jalan keluar, sehingga kita kita selalu dalam posisi tidak berdaya, kita
tidak memliki kemampuan untuk obyektif dalam hal memilih
alternatif baik dan buruk. Atau kita sudah kehilangan dan nyaris tidak
pernah percaya terhadap hadirnya kejujuran dan kebaikan sehingga
yang mengendap dan mengalir di urat nadi darah kita hanya
kefrustrasian dan putus asa, mungkin sekarang yang tersisa dalam
diri kita tinggal kemustahilan dan keniscayaan.

Idiomatik telah berlaku, adalah tidak mungkin sebuah proses menjadi yang mengabaikan tata nilai etika dan moral serta penghalalan segala cara untuk menjadi kemudian melahirkan
kebaikan, kearifan dan kebajikan. Ini jauh panggang dari api. Tapi
kenapa kita membiarkan terbenam berkepanjangan dalam situasi
ini. Artinya sangatlah mustahil ketika prosesi demokrasi yang note
bene bukan proses mencai penguasa tetapi mencari pemimpin
dilakukan dengan cara berdemokrasi membeli dan menjual lalu
melahirkan pemimpin yang sarat kearifan dan kebajikan. Sudah
menjadi hukum alam bahwa kalau sesorang ingin memperoleh
kepemimpinan dengan cara membeli maka secara alamiah maka
orang tersebut sedang memproses dirinya untuk menjadi penguasa
bukan sebagai pemimpin. Dan seharusnya secara kolektif kita
melakukan penolakan ketika hal itu mengepung kita.

Kesadaran transendental yang kemudian menjadi sebuah
kesadaran kolektif, sebenarnya bukan sesuatu yang naif dan salah
untuk menghadang pendegredasian nilai-nilai manusia. Karena kita
tahu penghamba-penghamba kekuasaan cenderung memliki kekuatan kapital dan hegemoni sosial yang lebih dari kebanyakan.

kita dan kita tahu hanya kekuatan moral transendental yang lahir secara kolektif mampu menghadang kepongahan dan keserakahan yang lahir dan berembrio dari penghamba-penghamaba kekuasaan.

Pada dasarnya demokrasi berembrio, lahir dan ada tidak mewarisi noktah hitam yang berketurunan. Karena demokrasi dilahirkan sebagai suatu upaya bagaimana harmoni antara
pengelolaan berbanngsa dan bernegara dengan hasrat kekuasaan
dapat berjalan seimbang dan optimal. Karena itu tujuan utama
demokrasi adalah tercapainya keadilan dan kesejahteraan, dan untuk
sampai kesana dibutuhkan proses serta mekanisme yang bertumpu
pada kekuatan etika dan moral dari pelakunya.

Kalaupun sampai hari kita dengan kasat maata dan telanjang melihat demokrasi
memar dan terkapar sebagai akibat demokrasi hanya dimaknai sebagai ajang atau media pemenuhan hasrat berkuasa, dan itu semata bukan kesalahan dari demokrasi itu sendiri. Tapi itu terjadi karena kebebalan yang kemudian melahirkan snobisme kerakusan, kepongahan dan kesombongan serta tragisnya kekuasaan juga dipahami sebagai modal dasar untuk menciptakan superior dan
inferior dalam rangka pemarginalan dan penindasan dan pelegalan
nafsu koruptif.

Lalu sampai kapan kita membiarkan domakrasi diingkari, dijungkirbalikan secara berkepanjangan dalam cidera yang memar serta terkapar tak berdaya dan kita menerima demokrasi
transaksional sebagai sebuah kebenaran. Mungkin hanya kita yang
mampu menjawabnya. (Red)

Musyadad
Alumni FE Angakatan 1984 Universitas Pembangunan Nasional (UPN
“Veteran”) Yogyakarta. Tinggal di Indramayu.

  • Bagikan

Comment