Ikhlas dan Sabar Menjalani Realitas Kehidupan

  • Bagikan
Dede Farhan Aulawi (Foto. Red)

Tanganrakyat.id, Setiap manusia pada dasarnya selalu memiliki keinginan, seperti ingin kaya, ingin sukses, ingin punya jabatan, dan sebagainya. Tentu tidak salah jika kita memiliki sesuatu keinginan, bahkan dalam beberapa hal tentu sangat positif dalam memacu semangat untuk berikhtiar dan berusaha secara maksimal. Namun yang sering dilupakan bahwa setelah keinginan itu “tercapai”, maka kita juga harus siap jika harus kehilangan apa yang sudah kita usahakan tersebut. Ibarat pepatah yang mengatakan bahwa hidup itu seperti roda yang berputar, tidak selamanya di atas dan tidak selamanya berada di bawah. Ada saatnya kita di atas, dan tentu juga ada saatnya jika harus di bawah.

Analogi tersebut nampaknya sederhana, padahal mengandung filosofis yang mendalam yaitu kesiapan mental jika suatu saat kita berada di bawah. Kebanyakan orang itu ingin selalu terus berada di atas, pada roda kehidupan yang senantiasa berputar di porosnya memberi kesempatan untuk bersiap diri atas segala kemungkinan yang kita terima. Dalam konteks ini, Allah SWT telah berfirman dalam QS. Ali Imran : 140 yang berbunyi ”Dan masa (KEJAYAAN dan KEHANCURAN) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…”

Saat kita di atas tentu banyak pelajaran yang bisa kita petik, dan begitupun saat kita di bawah pasti banyak juga hikmah yang bisa kita ambil. Mungkin kita akan sulit memahami makna syukur saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, dan mungkin kita sulit memaknai rasa sabar kalau kita tidak merasakan apa arti “tidak memiliki”. Semua perjalanan hidup itu mungkin harus kita lalui agar kita bisa memahami setahap demi setahap ajaran agama agar kita bisa semakin matang dan bijaksana.

Saat kita miskin mungkin kita sudah siap jika ditakdirkan menjadi orang kaya. Namun kita belum siap jika hari ini kaya, kemudian besok ditakdirkan menjadi miskin. Sebagaimana orang yang sedang sakit tentu akan merasa sangat siap jika ia harus sehat, namun orang yang saat ini sehat belum tentu siap jika besok ditakdirkan harus sakit. Coba saja bayangkan beban mental dan psikologis yang didera oleh mereka yang asalnya bisa melihat, namun karena suatu hal akhirnya ditakdirkan tidak bisa melihat. Orang yang tadinya bisa berjalan kemanapun karena memiliki kaki yang kuat, kemudian karena suatu kecelakaan (misalnya) ia menjadi tidak bisa berjalan. Orang yang tadinya cantik rupawan, dipuja dan dipuji oleh ribuan kumbang, tapi akhirnya terbaring kaku tak berdaya karena berbagai penyakit yang dideritanya. Dan berbagai analogi lain dalam kehidupan tentu akan dirasakan sangat berat jika kita tidak biasa berlatih diri untuk mahir dalam “kesabaran” dan “keikhlasan”.

Ternyata hidup kita banyak di set up untuk siap tertawa, namun lupa untuk menyetel jiwa ketika harus menangis berurai air mata. Imajinasi fikiran kita terlalu dipenuhi oleh ambisi “kebahagiaan” dan “kesenangan”, makanya banyak yang tidak siap jika dalam langkah hidupnya berhadapan dengan “kesulitan” dan “penderitaan”. Mungkin dia lupa bahwa anak tangga menuju kebahagiaan itu kadangkala harus melalui penderitaan, dan anak tangga menuju “kesenangan” ternyata harus melalui dulu apa yang disebut “kesulitan”. Meskipun algoritmanya tidak harus selalu seperti itu, namun realitasnya tidak sedikit yang seperti itu.

Oleh sebabnya itu kebesaran jiwa kita harus selalu diasah dan dilatih agar memahami hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Jika saat ini kita memiliki banyak harta, maka bersiaplah kalau esok lusa harta itu berkurang bahkan menghilang. Jika saat ini kita memiliki jabatan, maka bersiaplah kalau esok lusa jabatan itu akan diganti orang. Jika saat ini kita sehat segar bugar, bersiaplah seandainya esok lusa kita jatuh sakit tak berdaya. Bersiap diri untuk melihat masa yang akan datang akan menggembleng mental dan rasionalitas kita untuk siap dan tegar dalam menghadapi realitas kehidupan. Dalam pepatah masyarakat Sunda berbunyi, “ Kudu Noong ka Pageto” yang artinya kemahiran dalam melihat di kemudian hari. Tetapi yang dimaksud bukan jadi paranormal, melainkan bijak dalam mengelola apa yang kita miliki saat ini.

Semoga kita semua tergolong menjadi hamba Allah yang senantiasa bisa bersabar dan ikhlas dalam menghadapi dan menerima apapun realitas kehidupan. Dalam menjalaninya pasti tidak semudah seperti mengucapkannya, tapi kita semua harus senantiasa berusaha agar menjadi manusia yang terlatih dan teruji dalam menapaki terjalnya kerikil jalan yang harus kita lalui. Aamiin YRA (Red)

  • Bagikan

Comment