Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja
Dosen Magister Hukum
Universitas Al Azhar Indonesia
Masyarakat Madani
Masyarakat madani atau masyarakat berperadaban dibentuk untuk membedakan dirinya dari sekumpulan manusia yang tak mengindahkan nilai kemanusiaan, bahkan penindasan, pemerkosaan, penundukan menjadi sebuah kelaziman perilaku. Proses dehumanisasi, penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lain melalui peperangan yang melahirkan perbudakan manusia adalah hal yang umum terjadi. Ketinggian derajat manusia ditunjukkan melalui peperangan dan unjuk kekuatan. Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya, tidak ada tempat bagi yang lemah.
Masyarakat madani sebagai padanan kata civil society merupakan sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi sebuah nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat madani diambil dari kata Madinah, sebuah bentuk masyarakat yang menjunjung tinggi gagasan kemanusiaan sekaligus menjadi sebuah role model dari hadirnya sebuah kumpulan manusia yang beradab.
Madinah dibangun menjadi sebuah kota bahkan negara yang dibentuk dengan gagasan kemanusiaan dan ketuhanan. Perjanjian untuk saling memanusiakan manusia diwujudkan dalam sebuah Piagam Konstitusi Madinah. Inilah cikal bakal terciptanya sebuah Negara Hukum, berpijaknya sebuah kesatuan sosial masyarakat melalui norma-norma yang beradab.Terdapat sebuah karakter tertentu untuk melihat apakah sekumpulan manusia tersebut adalah masyarakat yang beradab (madani/civil society) atau tidak. Karakter utama masyarakat madani menurut Nurcholish Madjid antara lain (Arifin, 2020):
Pertama, prinsip egaliterianisme. Egaliter merupakan sebuah kondisi dimana setiap komponen individu dalam kelompok berdiri secara setara. Dalam keadaan ini maka keadilan hukum diterapkan dan ditegakkan kepada siapapun tanpa melihat kedudukan dan status orang tersebut. Setiap orang memiliki kedudukan yang sederajat, seimbang, setara di dalam hukum.
Tantangan besar menerapkan kondisi egaliterianisme dalam struktur budaya agraris adalah kokohnya norma bangunan masyarakat yang terstruktur dalam lapisan-lapisan hirarki. Kelompok masyarakat tersusun secara hirarkis, dimana masing-masing kelompok sosial harus menyadari posisinya masing-masing. Kelompok yang berada pada lapisan bawah menjadi klien bagi kelompok yang berada di lapisan atas. Lapisan atas selaku patron akan memberikan perlindungan kepada klien sebagai bentuk pengabdian klien terhadapnya.
Perlu pemahaman mendalam untuk meletakkan gagasan egaliter dalam konstruksi masyarakat agraris yang mengusung ide hirarki dalam lapisan masyarakatnya. Sebuah hadits menjadi contoh bagaimana Nabi Muhammad Saw meletakkan gagasan egaliter di tengah masyarakat Madinah:
Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’ (HR. Bukhari no.6788 dan Muslim no.1688).
Kedua, Prinsip Kepemimpinan melalui Musyawarah. Model kepemimpinan city state Madinah menjadi berbeda di tengah dua empirium besar yang tengah berkuasa: Romawi dan Persia, dimana keduanya mengusung konsep kekuasaan berdasarkan pada keturunan. Madinah menjadi sebuah polis atau city state yang menggagas ide musyawarah untuk menentukan para pemimpin.
Pemilihan seorang pemimpin diselenggarakan melalui prinsip musyawarah diantara para wakil anggota kelompok untuk memilih orang terbaik yang ada di Madinah diangkat menjadi khalifah. Kepemimpinan dalam city state Madinah adalah bentuk wujud kepemimpinan sebagai amanah. Memilih orang terbaik yang ada di kaum tersebut melalui musyawarah. Kepemimpinan bukan diperebutkan melalui pertarungan kampanye. Kepemimpinan adalah bentuk amanah dan tanggungjawab kepada manusia yang memilihnya (rakyat) dan juga kepada Tuhan.
Ketiga, Prinsip Keterbukaan dan Partisipasi Masyarakat. Prinsip keterbukaan dan meminta peran aktif masyarakat dalam berkontribusi bagi pembangunan adalah hal penting dalam proses pembangunan sebuah bangsa. Prinsip keterbukaan dalam membangun sebuah bangsa akan mengeliminasi beragam penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Masyarakat Madinah yang dipimpin seorang Nabi pun menerima pendapat dari para sahabat untuk menanggulangi beragam bahaya yang mengancam. Setiap anggota masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya kepada pemimpin dan setiap pendapat itu dihargai.
Prinsip Penghargaan atas Prestasi. Penghargaan terhadap seseorang ditujukan atas kemampuan dan prestasi yang ia berikan kepada masyarakatnya. Penghargaan kepada setiap individu diberikan atas jasa-jasanya dan kontribusinya kepada lingkungannya. Dalam model kepemimpinan Madinah, walaupun diputuskan berdasarkan rapat dewan formatur, tetapi pemilihan tersebut melihat bagaimana kontribusi para sahabat utama dalam perjuangan menegakkan kukuhnya Madinah. Terpilihnya Abu Bakar ra, Umar ibn Khattab ra, Utsman ibn Affan ra, hingga Ali ibn Abi Thalib ra didasarkan pada kecakapan dan prestasi serta kontribusi besarnya untuk umat manusia.
Tantangan Ekstrimisme dalam Masyarakat Majemuk
Ekstremisme adalah tindakan menganut paham ekstrim berdasarkan politik dan agama (Abdi, 2021). Pandangan ekstrim ini berhadapan dengan ide masyarakat madani. Nilai-nilai masyarakat madani yang mengedepankan ciri masyarakat beradab di Indonesia kini mendapat tantangan dengan hadirnya violent extrimism. Hadirnya ide kekerasan menjadi sebuah tantangan berat atas pemahaman masyarakat yang plural di Indonesia. Pluralitas kultural dan religi telah ada dalam ruang demografi Indonesia. Bangunan masyarakat Indonesia yang sangat beragam membutuhkan sebuah kemampuan untuk mampu beradaptasi dan bergotong-royong dalam keragaman yang ada. Masyarakat multikultur dan multi religi Indonesia adalah sebuah contoh bagaimana setaip individu bekerja dalam beragam warna kultur dan religi yang majemuk. Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang memiliki lebih dari dua tatanan sosial yang hidup berdampingan (Anwar, 2021).
Pluralitas membutuhkan toleransi (tasamuh), setiap kelompok didorong untuk mampu bergotong-royong diantara semua komponen anak bangsa yang ada. Kondisi keragaman Indonesia adalah bentuk nyata dari kehendak Tuhan yang tidak bisa kita tolak. Terciptanya beragam warna suku bangsa dalam kegotongroyongan adalah kehendak Tuhan untuk saling mengenal. Semangat toleransi (tasamuh) bagi umat Islam dan umat beragama lainnya tentunya tidak perlu lagi diajarkan lagi dalam kultur Indonesia yang beragam, karena ia tumbuh dan berkembang bersama lahir dan tumbuhnya masyarakat Indonesia itu sendiri. Walaupun demikian penumbuhan semangat toleransi itu tetap harus dijaga dan dirawat untuk mengantisipasi beragam perilaku ekstrimitas yang mengancam nilai-nilai Keindonesiaan.
Hadirnya praktik ekstrimitas dalam beragama dan berbudaya pada hakikatnya bukanlah bentuk dari Keindonesiaan kita melainkan lebih menampilkan ekspresi ketidakadilan atas perebutan sumber daya yang ada. Agama digunakan sebagai sarana agitasi memicu semangat dan praktik perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi. Ekstrimisme yang menolak keragaman dalam lingkup sosial juga lahir dari rahim berfikir yang absolut. Kebenaran mutlak tentu hanyalah milik Allah semata, dan metode berfikir absolut mampu menghilangkan hingga meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Keragaman dan toleransi masyarakat Madani ditunjukkan oleh Nabi Saw melalui pembentukan Konstitusi Madinah yang memberikan penghormatan dan perlindungan kepada beragam religi dan budaya masyarakatnya. Perembesan damai (penetration pasifique) yang dilakukan oleh para penyebar Islam di Nusantara menjadi sebuah model internalisasi Islam ke dalam budaya lokal. Metode dakwah dengan menyertakan beragam produk budaya seperti gamelan, wayang, tembang, pepatah, juga metode bercocok tanam dan lainnya menunjukkan sebuah kecerdasan tinggi dalam upaya Internalisasi Islam di tanah Nusantara.
Kesukarelaan, merupakan sebuah konsep penerimaan tanpa paksaan. Sebuah konsep yang dibangun berdasarkan kesadaran kehendak oleh masing-masing unit dalam satuan sosial untuk terlibat aktif membangun kelompoknya. Kesukarelaan merupakan lawan dari indoktrinasi dan pemaksaan. Kesukarelaan bermakna sebuah kesadaran, bahwa setiap individu dan kelompok sadar akan peran penting mereka membangun masyarakatnya.
Kesadaran akan peran aktif setiap anggota masyarakat untuk terlibat dalam membangun bangsanya tidak harus berasal dari sebuah keterpaksaan, indoktrinasi dan penindasan. Masyarakat memiliki kesadaran melalui cukupnya pengetahuan bahwa sebuah bangsa harus dibangun, dibentuk, guna memberikan perlindungan bagi setiap penghuni bangsa itu. Kesadaran ditumbuhkan melalui ilmu pengetahuan dan bukan pemaksaan secara totaliter.
Pengutamaan ilmu pengetahuan menjadi hal sangat penting untuk menumbuhkembangkan kesadaran sebuah bangsa. Ilmu adalah jendela cahaya untuk menuangkan pemahaman atas setiap objek. Setiap individu dalam sebuah kelompok sosial hingga bangsa haruslah memiliki ilmu pengetahuan yang cukup untuk membangun bangsa. Ilmu pengetahuan menjadi sarana untuk mengatasi beragam problematika bangsanya. Ilmu menjadi senjata yang kuat untuk mempertahankan sebuah keutuhan bangsa.
Ilmu pengetahuan akan melepaskan diri dari kebodohan yang membelenggu hingga beragam perilaku ekstrimitas yang merugikan kelompoknya. Ilmu pengetahuan adalah kunci kemajuan sebuah peradaban manusia. Bahwa kehendak Tuhan dalam Kitab Suci Qur’an pun mewajibkan setiap manusia untuk menggali ilmu pengetahuan. Ribuan ayat turun berkaitan dengan arti penting ilmu bagi manusia, karena dengan ilmu itulah manusia dapat memahami kehendak-kehendak Tuhan bagi dirinya. Ilmu merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, bahkan ia adalah makanan utama manusia.
Comment