Tanganrakyat.id, Indramayu – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023 gagal diketuk palu oleh DPRD Kabupaten Indramayu pada paripurna Dewan pada 30 November 2022 sekalipun paripurna digelar sampai pukul. 24.00 WIB.
Batalnya ketuk palu Dewan menjadi perbincangan banyak kalangan dan berbagai dugaan spekulatif bermunculan. Apa, mengapa, dan apa konsekuensinya?
Menurut Ketua Fraksi Merah Putih DPRD Indramayu, Haji Ruswa, MPd.I, hal itu terjadi karena belum mendapatkan rancangan secara detail terkait postur rancangan APBD 2023. Jadi rancangan APBD 2023 tidak dapat disahkan karena pembahasannya juga belum selesai.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Indramayu, Haji Muhaemin. Ia berpendapat, APBD 2023 sebenarnya bisa disahkan, jika melihat dari tahapan-tahapan pembahasan rancangan APBD 2023 yang telah dilakukan sebelumnya.
Rapat pembahasan terakhir dilakukan pada 25 November 2022 atau lima hari sebelum batas akhir pengesahan rancangan APBD 2023. Namun, waktu lima hari ini tidak dapat dimaksimalkan oleh tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) untuk melakukan penyelarasan dengan DPRD Indramayu.
Sementara itu Sekretaris daerah Kabupaten Indramayu, Rinto Waluyo mengatakan eksekutif meminta waktu untuk melakukan penyelarasan rancangan APBD 2023. “Kita minta waktu untuk penyelarasan pembahasannya. Setelah penyelarasan selesai, Ibu Bupati Indramayu Nina Agustina, siap untuk hadir untuk menandatangani persetujuan rancangan APBD 2023,” kata dia dalam rapat paripurna tersebut.
Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah) O’ushj.dialambaqa, dalam menganggapi hal tersebut mengatakan, APBD 2023 gagal diketuk palu oleh DPRD Indramayu pada paripurna Dewan, 30 Nov. 2022 sekalipun paripurna digelar sampai pukul 24.00 WIB.
Batalnya ketuk palu Dewan menjadi perbincangan banyak kalangan dan berbagai dugaan spekulatif bermunculan. Apa, mengapa, dan apa konsekuensinya?
Argumentasi Dewan gagalnya diketuk palu sebagai simbol pengesahan karena Bupati tidak hadir adalah sudah benar, sebab itu UU NO. 23 Tahun 2014 yang bicara.
Keputusan Dewan yang sudah benar itu kemudian dicabik-cabik oleh legislatornya sendiri bahkan oleh Ketua Fraksi itu sendiri. Ini dagelan dan lucu-lucuan yang tidak lucu dan memalukan.
Salah satu legislator dalam paripurna itu mengatakan beri kesempatan fraksi-fraksi untuk memberikan pandanganya atas ketidakhadiran bupati.
Kengawuran dan kedablegan itu tetap dipelihara lantas ada pihak yang mengatakan ya itu dinamika politik makin dableg ngawurnya. Semua legislator dan fraksi harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang. Dinamika politik yang ngawur kok dipertontonkan ke publik.
Bahkan yang amat memilukan adalah alasan dua fraksi yang dipertontonkan lewat berita berbagai media, yaitu Haji Ruswa, MPd.I Ketua Fraksi MP yang mengatakan tidak tahu secara detail postur APBD. Itu ngomong lagi ngigau apa lagi ngelindur.
Jika publik yang ngomong itu benar adanya karena mulai dari RAPBD hingga menjadi APBD, publik tidak bisa mengakses. RAPBD, APBD, RKA dan lainnya tidak bisa diakses, apakah ngawur atau sudah gila-gilaan dalam merumuskan kebijakan publik, seperti dalam perubahan APBD 2022, kok ada Hibah senilai Rp 2.063 milyar lebih nempel di Dinas SAT POL PP untuk Polres. Itu tidak saja ngawur dan kblinger tapi menabrak regulasi, sudah jeruk makan jeruk jadinya.
Bukankah draf RAPBD dan Nota Pengantaran berikut penjelasannya sudah diserahkan ke Dewan? Apakah Ruswa sebagai Ketua Fraksi Merah Putih tidak membacanya atau mau terima bersih saja, karena mekanisme lanjutanya masuk Bamus dan dibahas di Banggar, lantas ada mekanisme penyampaian pandangan (pendapat) fraksi-fraksi yang kemudian ada jawaban Bupati (Eksekutif) atas pandangan fraksi-fraksi. Atau memang tidak tahu dan atau tidak paham dengan postur APBD kita yang molak-malik setiap tahunnya atau pura-pura dungu akhirnya menjadi dungu betulan dalam logika dan akal warasnya. Jika seperti itu jadinya, sungguh menyedihkan, bukan?
Artinya, ketika mau diketuk palu RAPBD itu sudah clear dibahas, sudah sepakat dan tinggal secara simbolik diketuk palu oleh Dewan, yang oleh UU harus dihadiri Bupati sebagai simbolik telah disetujui bersama. Itu soalnya.
Kedabglegan dan kengawuran itu dipertontonkan Ketua Fraksi Golkar Muhaimin dengan alasan dalam waktu sisa lima hari tidak dimaksimalkan oleh TAPD untuk melakukan penyelarasan dengan Dewan.
Lho wong bupati menganggap cukup hal-hal yang menyangkut RAPBD untuk menjadi ABPD 2023 disahkan. Lagi-lagi soal penyelarasan. Jika sudah di meja paripurna untuk diketuk palu, disahkan, berarti sudah melewati proses penyelarasan atau singkronisasi. Jika belum mengapa dibawa ke meja paripurna untuk diketuk palu. Bukankah itu namanya dableg dan ngawur?
Apa konsekuensinya jika APBD 2023 gagal disahkan? UU No. 23 Tahun 2023 sudah mengatur ketentuan sanksinya, yaitu hak keuangan Bupati dan Dewan tidak dibayarkan (selama 6 bulan), dan berarti gaji dan tunjangan, yang dimasudkan pasal 312 ayat (2). Jadi sanksinya konkret betul, bukan pasal.karet.
Jika Bupati di media mengatakan akan konsultasi dengan Gubernur dan Mendagri, ya boleh-boleh saja, yang konon sanksi Undang-Undang itu akan bisa tidak diberlakukan demi Bupati.
Jika benar Mendagri itu kemudian mengambil kebijakan bahwa sanksi itu bisa dibatalkan begitu saja, ini namanya bukan negara dan atau pemerintahan, karena kok Undang-Undang hanya diberlakukan buat rakyat jelata.
Mari kita bikin komparasi intelektual akademik dengan metodologi akademik. Jika tukang becak itu sehari hanya perpenghasilan Rp.100.000,00, kebanyakan di bawah itu penghasilan seharinya sekarang. Jika anggota Dewan tunjangan 60jt-80jt/bulan, matematika mengatakan, itu sama dan sebangun dengan 3 tahun lebih si tukang becak harus mengayuh becaknya diterik matahari dan hujan lebat.
Jadi jika sanksi tidak dibayar haknya atas gaji dan tunjangan selama 6 bulan, itu artinya, bagaikan.langit dan bumi rentang disvaritasnya atau kesenjangan sosialnya. Padahal, nyaris anggota Dewan tidak punya tanggung jawab sosial dan moral clarity, karena eksistensi Dewan dalam politik kekuasaan sektarian tak lebih dari lembaga tukang stempel semata.
Sikap Bupati yang tidak datang dalam paripurna itu menunjukan fakta dan realitas empirik bahwa Dewan berada dalam cengkraman hegemoni kekuasaan bupati, dan Dewan sebagai
Dubordinasi Bupati, dengan kata lain yang ekstrim dan tidak beradab harus dikatakan dalam sosiologi politik dan kekuasaan sebagai Dewan tidak berguna di mata Bupati.
Tinggal persoalannya jika Dewan merasa marwahnya direndahkan, karena bupati berkali-kali mangkir dalam parpurna dan itu pelanggaran Undang-undang, ya tempuh mekanisme konstitusional melalui Interpelasi lantas Angket, dan jika Angket bisa membuktikan pelanggaran Undang-Undang tinggal jalan Pemakzulan. Bukan jawaban yang dipertontonkan itu sebuah dinamika politik. Itu ngawurnya.
Konsekuensi berikutnya, jika memakai APBD 2022 ada banyak hal yang beresiko tinggi, seperti dana hibah ke Polres yang Rp. 2 milyar lebih, suntikan dana ke PDAM Rp. 4,5 milyar dan BPR Karya Remaja Rp. 10 milyar masih berlaku lagi, dan pos-pos anggaran lainnya, jika tidak segera kemudian dilakukan perubahan APBD 2022nya nanti.
Sekarang dengan regulasi baru Mendagri bahwa APBD bisa kapan saja dirubah bergantung pada kondisi daerah dan kemauan Eksekutif dan Legislatifnya. Semula perubahan APBD hanya sekali dalam setahun, kecuali masa pandemi dengan istilah refocusing anggaran, sekarang kapan saja maunya. Tetapi, jika tidak hati-hati atau perubahan itu hanya berorientasi kepentingan politik semata, rakyat hanya akan dapat ampasnya tok. Lebih-lebih mentalitas birokrasi dan birokratnya mengatakan, “dari APBD saya harus dapat apa”. Itu soalnya.
Baca juga :
Melawan Lupa Tragedi Kemanusiaan Percobaan Pembunuhan Direktur PKSPD
Dewan juga mempertontonkan kengawurannya berulang-ulang, di mana kursi Bupati di duduki Setda Rinto Waluyo. Jadi etika publik sudah dikubur dalam-dalam, padahal itu menyangkut problem etikabilitas publik yang akan mempengaruhi Public trust, dan sekali lagi, bahwa fakta dan realitas empirik tersebut mengafirmasi kebenaran yang tak terbantahkan lagi bahwa Dewan memang benar- benar dalam cengkraman hegemoni kekuasaaan Bupati. Pertanyaannya, jika Dewan membantah, bisa membuktikan bantahannya itu semua!!
Comment