Tanganrakyat.id, Bandung – Indramayu merupakan sebuah Kabupaten di Jawa Barat, wilayah ini terkenal dengan produksi padi yang melimpah. Maka tidak heran jika Indramayu dikatakan sebagai lumbung padi nasional. Menurut catatan Kementerian Pertanian RI, Kabupaten Indramayu menempati peringkat pertama se-Indonesia dengan produksi padi tahun 2021 mencapai 1.319.624 ton.
Namun siapa sangka, wilayah Indramayu justru masuk dalam kategori wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Bahkan Majalah Tempo menyebut Indramayu termiskin urutan ke-2 di Jawa Barat dari 26 Kabupaten/Kota.
Tentu fakta ini menjadi pertanyaan berbagai kalangan, karena pada kenyataannya yang terjadi justru berbanding terbalik dengan sematan penghargaan sebagai daerah lumbung padi nasional dan penghasil ikan terbesar di Jawa Barat serta daerah pengolahan migas yang mampu menyuplai kota-kota besar termasuk Jakarta.
Berbagai riset dan penelitian mungkin telah dilakukan demi mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di wilayah Indramayu. Namun hingga kini kondisi Indramayu masih belum beranjak baik.
Sementara penulis sendiri melihat bahwa persoalan kemiskinan dan jauhnya masyarakat Indramayu dari kesejahteraan disebabkan karena kekeliruan dalam memandang akar permasalahan kemiskinan.
Masyarakat Indramayu khususnya ataupun Indonesia dalam skala nasional, miskin bukan karena negerinya miskin SDA atau SDM yang tidak bisa mengelola SDA sendiri. Faktanya, tenaga ahli di perusahaan-perusahaan asing yang mengeksploitasi SDA dalam negeri juga banyak yang merupakan putra bangsa.
Kemiskinan struktural di negeri ini sejatinya disebabkan distribusi kekayaan yang tidak adil dan merata bagi seluruh rakyat. Seperti pada 2019, pada skala nasional nasional misalnya separuh asetnya dikuasai hanya 1% penduduk Indonesia. (Tempo Bisnis)
Kesenjangan makin meninggi, yang kaya karena memiliki semua akses akan terus menumpuk harta. Sebaliknya, rakyat miskin yang tidak memiliki akses akan terus terjerembap ke dalam kemiskinan.
Hal ini bisa terjadi karena cara pandang kapitalisme yang melekat pada kebanyakan anak bangsa. Sejatinya, kapitalisme memang menjadikan uang sebagai satu-satunya distribusi.
Rakyat yang tidak mampu mengakses segala macam fasilitas hidup dianggap konsekuensi dari ketakmampuan ia memiliki uang. Padahal, kemiskinan di tanah air bukan bersifat kultural (kemiskinan akibat rendahnya kualitas individu, seperti malas), melainkan struktural, yaitu kesalahan sistem yang diterapkan.
Sebenarnya, pangkal distribusi yang tidak merata adalah ketiadaan peran pemerintah dalam sistem kapitalisme. Rakyat yang cacat dan sehat dibiarkan bertarung di arena yang sama. Kondisi itu sangat tidak adil, bukan? Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menjadikan negara sebagai peran sentral dalam distribusi harta.
Bagi seseorang yang miskin alamiah, yaitu miskin akibat kondisi alami seseorang, seperti cacat mental, fisik, lansia, dan lainnya yang menyebabkan ia tidak mampu bekerja, sedangkan mereka tidak memiliki wali yang menafkahi, maka pada kondisi itu, negara hadir langsung mengurusi mereka.
Selain itu, negara menjamin kebutuhan primer seluruh warganya. Semua kebutuhan rakyat (sandang, pangan, dan papan, sekaligus kesehatan, pendidikan, dan peradilan) akan dijamin negara.
Jikapun melibatkan swasta, maka keterlibatannya hanya pada tataran teknis, itu pun di bawah kendali pemerintah. Dalam Islam, tidak diperbolehkan adanya perusahaan swasta yang menjadi pemasok komoditas utama di desa-desa.
Sistem ekonomi Islam juga mengatur regulasi kepemilikan sehingga seseorang tidak bisa memiliki barang kepemilikan umum, meski mampu membelinya.
Sistem ekonomi Islam memiliki keterpaduan dengan sistem lain di bawah sistem pemerintahan Islam. Misalnya, sistem pendidikan dan kesehatan yang baik akan melahirkan individu yang sehat fisik dan mental. Ini merupakan modal utama seseorang untuk bisa bekerja dan keluar dari kemiskinan.
Baca juga :
Buya Amirsyah Bersyukur Kongres Ekonomi Umat Hasilkan Resolusi Jihad Ekonomi
Dengan demikian, penyebab kemiskinan ekstrem di Indramayu misalnya adalah karena kapitalisme itu sendiri. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya adalah dengan meninggalkan aturan main sistem ekonomi kapitalisme dan beranjak pada sistem ekonomi Islam yang berpadu padan dengan sistem pemerintahan Islam.
Comment