Tanganrakyat.id, Indramayu – Dirut BPR KR bersama Bupati mengklaim asetnya sekarang Rp 741.709.187.984,18, naik 6,31% dari perkiraan Desember 2021, dan mengklaim, kenaikan tetsebut di atas rata-rata BPR secara nasional sebesar 5,7%. Laba Rugi naik 6% dari thn 2021, yaitu sebesar Rp 5.316.832.392,01 sehingga proyeksi PAD 2023 sebesar Rp 2.924.257.815,06. Sunggguh fantastik, bukan?
Itu Bupati tengah mempertontonkan lakon Kembang Ganyong pada BPR KR yang seolah-olah sangat fantastik dengan catatan Laba mencapai Rp 5,316 lebih. Kembang Ganyong itu juga tengah mempertontonkan IPM kita yang rendah atau buncit, karena itu berarti civil society oleh Bupati dan Dirut BPR KR dianggap dungu semua. Itu soalnya.
Padahal, jangan-jangan kedunguan itu bersemayam pada Bupati dan Dewan Pengawas (Dewan), dan jika Dirut mengklaim fantastik seperti itu, wajar saja, supaya dianggap berprestasi, tetapi sekaligus berarti Bupati dan Dewas berada dalam kedunguan fantastik, sebab menilai sehat dan tidaknya BPR KR tidak bisa hanya dengan melihat Laba tahun ini saja (thn. 2021). Jika cuma itu yang dilihat atau dibaca, itu berarti kedunguan dalam membaca sehat tidaknya BPR KR menjadi sangat keterlaluan.
Entah apa Kominfo yang tak mengerti dan tak paham atau memang data itu benar seperti yang disampaikan Bupati dan Dirut, yaitu laba rugi naik 6% dari tahun 2021. Aneh bin ajaib, karena RUPS itu adalah untuk tahun buku 2021. Jika kosa kata itu dikatakan “naik” 6%, seharusnya naik dari tahun 2020. Jadi sangat kacau balau.
Pembanding untuk dikatakan naik atau turun itu harus dari data laba rugi tahun sebelumnya. Mana ada dikatakan laba rugi naik dengan data tahun 2021, padahal lagi bicara laba rugi tahun 2021. Tahun 2022 periode akuntansinya baru berjalan belum satu bulan penuh. Itu juga soalnya.
Jika kita tidak ingin memelihara kedunguan, seharusnya Bupati mempublish Laporan Keuangan (Neraca dan Laba Rugi)nya sehingga kita tahu apakah itu fantastik atau sekedar ngibul-ngibul dan atau sekedar ngibuli publik, karena dianggap dungu semua.
Untuk tidak menjadi Bupati dalam kedunguan, menilai dan atau membaca sehat atau tidaknya BUMD, ya harus menyajikan dua data neraca dan laba rugi dua tahun berturut turut agar obyektif. Jika hanya data neraca dalam tahun bersangkutan saja, hanya segelintir orang saja yang paham dan mampu membaca dan menganalisisnya, apakah BPR KR itu sehat atau justru sakit, buruk. Itu soal. kedunguan klaimnya.
Agar Bupati tidak dalam kedunguan fantastik, untuk menilai sehat atau tidaknya, minimal harus mengerti dan paham betul dengan apa itu: Likuiditas, Solvabilitas, IRR (Internal Rate Return), Capital Adequacy Rasio, Allowance for Bad Debts, Bad Debt, Bed Debt Expense, Retained Earning. Minimal itu sebagai pisau bedah untuk mengatakan sehat atau tidak, fantastik atau jongkok. Yang ditampilkan cuma data laba Rp 5,326.832.391,01. Current Aset atau Asset juga tidak ditampilkan. Pada sisa pasiva juga tidak ditampilkan datanya. Lantas apa bisa menyimpulkan sehat atau tidaknya, fantastik atau jongkoknya. Kita juga harus menganalisis kebijakan ekspansi kreditnya, karena itu menjadi rasio sehat tidaknya BPR KR. Jika berkesimpulan sehat atau fantastik, itu namanya sudah gila, naik tangga dari stadium kedunguan.
Bayangkan saja, kita hanya dijejali laba fantastik, kita tidak tahu bagaimana Retained Earningnya sampai dengan tahun 2021, yang mengklaim naik di atas rata-rata BPR secara nasionsl sebesar 5,7% kemudian tak disajikan data seluruh BPR dari Sabang hingga Merauke. Itu namanya sudah dungu dan gila-gilaan. Itu juga soalnya.
Kembang Ganyong memang tampak sangat indah dan menarik sekalipun tak berumbi, tetapi, sekaliipun Kembang Ganyong itu sangat menarik karena aneka ragam warnanya, valuenya rendah. Tak ada yang mau memanfaatkannya selain hanya gayong (umbi)nya saja.
Ganyongnya memang sangat banyak mengandung kaya protein, kalori, lemak, vit C, vit B1, fosfor, kalsium dan zat besi. Ganyong juga mengandung sejumlah senyawa seperti flavonoida, saponan dan polifenal.
Ganyong hingga tahun 1990an masih banyak kita temui bahkan menjadi makanan atau jajanan kita masa kanak-kanak di desa atau kampung. Masa kanak-kanak kita di kampung ganyong menjadi trilogi krawu, yaitu krawu ganyong, krawru sagu dan krawu boled.
Entah kenapa, Kembang Ganyong menjadi simbol detajat yang rendah. Kala dulu, jika ada anak pacaran di kebun ganyong, distempel itu dari kalangan gembel, bukan keluarga elit atau berada. Padahal, Kembang Ganyong mencorot warnanya. Tidak seperti Kembang Melati, kecil mungil semerbak wanginya sebagai simbol yang bernilai dalam strata sosial.
Jadi Kembang Ganyong bernilai tinggi jika berada dalam panggung teater sebagai artistik yang sedemikian rupa mendramatisir suasana yang bisa mengharu-biru.
Jika BUMD mau menjadi Kembang Ganyong yang fantastik, Bupati harus paham bagaimana ganyongnya supaya bernas, bukan terkagum-kagum dengan kembangnya yang fantasti itu sebagai reputasi fantastik BPR KR atau PDAM atau BWI. Jangan beramsumsi bahwa civil society dungu semua, padahal, kedunguan yang terjadi pada KPM, Dewas dan Jajaran Direksinya dari BUMD itu sendiri. Itu soalnya.
Ada kedunguan berikutnya, terutama para penghamba kekuasaan, para buzzer dan lainnya yang mengatakan dan bertanya, publik yang mana? Masyarakat yang mana?
Jika kita menjawab soal pertanyaan yang dungu dari kedunguan penyoal itu, maka kita menjadi sama-sama dalam kedunguan, karena penyoal publik yang mana atau masyarakat yang mana, batok kepalanya kosong atau dengkulnya di kepala dan kepalanya didengkul, sehingga mereka menjadi dungu memahami konstitusi, apalagi untuk memahami pikiran Montesquiu dan John Locke dalam.memaknai vox populi, vox dei, sehingga menyoal, publik yang mana atau masyarakat yang mana? Yang jelas bukan publik atau masyarakat macam yang menyoal itu, karena suara rakyat (masyarakat, publik) adalah suara Tuhan itu, suara publik atau rakyat atau masyarakat yang mengandung kebenaran, bukan suara seperti penyoal publik yang mana atau masyarakat yang mana. Untuk itu, jangan pelihara kedunguan jika ingin Bermartabat. Indramayu Bermartabat bukan dinilai dari reputasi Bupati Nina pengumpul piagam penghargaan, itu realitas politik namanya. Itu namanya lakon Kembang Gayong, dan Insya Allah jika maunya seperti itu Indramayu fakta dan realitanya akan menjadi semakin memburuk, dan kita tidak bisa eksodus dari negeri dongeng yang fantastik.
Kembang Gayong tersebut mengisyaratkan bahwa BPR KR sesungguhnya tidak sehat.
Hal tersebut bisa kita buktikan bahwa Rasio Kecukupan Modalnya ambruk. Rasio likuiditasnya juga ambruk dan bahkan solvabilitasnya juga tidak ada kabar, sehingga jika terjadi rust, BPR KR dipastikan kolep.
Mengapa? Karena pemberian pinjaman kepada debiturnya tidak mengacu pada prinsip perbankan, yaitu 5C dan atau 7C. Resikonya terjadi kredit macet, yang relasinya beresiko penabung deposam tidak bisa menarik uangnya yang disimpan di BPR KR.
Bupati tidak bakal ngerti apalagi mau paham soal – soal tersebut.
Jadi jika terjadi rust, pasti.kolep, kini sudah menjadi fakta dan realitas empirik, lantas bagaimana tanggungjawab Bupati sebagai KPM?
Solusinya sederhana dan gampang. Mau tidak mau bupati harus bertanggungjawsb penuh, bukan dilempar ke Dirut BPR KR, bukan mencari kambing hitam, bahwa itu kerusakan masa lalu. Itu namanya tidak bertanggungjawab sebagai KPM atau Bupati. Jika begitu ya sudah mundur saja, klir.
Gampang kok jika bupati mempunyai sinse of crisis, punya nurani rasa tanggung jawab, tinggal bikin peryataan publik, bahwa semua uang yang disimpan di BPR KR dijamin APBD dan bisa diselesaikan paling lambat Desember 2023.
Kredit macet itu cuma 300 milyar malah cuma 141 milyar, cuma1/2 dr PAD untuk menyelesaikan uang para penabung dan deposan terutama ekonomi menengah ke bawah.
Kebijakan tersebut bisa sebagai penyertaan.modal baru atau dianggap dana talangan APBD untuk menyelesaikan uang penabung. Itu semua tidak melanggar UU. Gampang toh jika bupati punya nurani.
Setelah itu baru, bagaimana aset agunan debitur nakal itu harus diselesaikan dengan batas waktu. Jika statusnya sebagai dana talangan APBD, maka penyelesaian aset debitur nakal dikembalikan lagi ke APBD. Itu baru pemimpin atau bupati punya tanggung jawab..
Itu benar karena sudah rusak, tetapi tugas dan tanggung jawab bupati sebagai pemimpin harus memperbaiki kerusakan masa lalu, bukan selalu dijadikan alasan penghindaran dari tanggung jawab. Itu namanya tidak bermoral pemimpin.
Ini yang terjadi, sudah rusak kemudian makin dirusak, ya kolep. BUMD; PDAM, BWI dan BPR KR ditangan bupati makin rusak. BWI sudah setahun bubaran, BPR KR kolep, dan PDAM tetap menjadi Tong Sampah dan manajemen sampah juga yang diterapkan. itu faktanya.
Baca juga :
Direktur PKSPD Tanggapi Soal Seleksi Untuk Direksi Bank BPR Karya Remaja 2020-2025
Dewan Pengawas hanya makan buta atau gaji buta. Sehat tidaknya BUMD adalah ditangan Dewas.
Inspektorat dan BPK, auditornya bermentalitas bobrok, bagaimana BUMD mau waras? Setiap tahun BPK melakukan audit dan tidak ada temuan. Sekarang geger temuan OJK yang diklaim temuan Bupati, padahal bupatinya tidak melek ilmu auditing. Jadi lucu.
Kemudian BPK tidak tahu malu, tidak tahu diri dan tidak punya kemaluan, kerugian negara yang menghitung di pengadilan BPK juga, terhadap tersangka Dirut dan bebitur.
Dewannya tetap menjadi Harimau Harimau Sirkus, berada dalam ketiak Bupati, sehingga tidak mau.menjadi watch dog. Maka tambah rusak.
Comment