Pengembangan Gula Aren Halimun, Ada Keterbatasan?

  • Bagikan
Dr. Uci Sulandari, Ssi., Msi. (Foto : Dok. pribadi)

Tanganrakyat.id, Sukabumi –  Siapa tak kenal gula aren? Aroma dan warnanya yang khas serta rasanya yang manis sangat cocok digunakan sebagai pemanis untuk membuat kolak dan aneka jenis makanan lainnya, khususnya di Bulan Ramadhan ini. Maka, tak heran ada adagium yang menyebutkan bahwa nilai sesendok gula aren mengandung “seribu arti”.

Bermula dari pohon aren yang tumbuh alami di Taman Nasional Gunung Halimun yang terletak di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, lalu menyebar secara alami dengan bantuan musang liar (musang luak) serta menghasilkan pohon aren unggulan hasil seleksi alamiah.
Sosok musang luak sebagai omnivora atau pemakan segala memang merupakan pemilih bibit unggul alami yang piawai. Musang luak mempunyai kebiasaan memakan buah-buahan pilihan yang terbaik dengan terburu-buru sehingga menelan pula bijinya.
Hewan liar tersebut hanya dapat mencerna kulit dan daging buah aren. Biji dari buah yang dimakan musang luak tidak dapat dicerna, sehingga biji tersebut keluar bersamaan dengan kotorannya.

Sampai sejauh ini sudah banyak penelitian mengenai pemencar biji oleh satwa liar. Salah satunya adalah musang luwak, selain owa Jawa dan burung kutilang (Tatang MS, 2008) , dimana hal tersebut mempunyai implikasi pada pelestarian hutan hujan tropis.

Pohon aren yang telah tersebar oleh musang luak mempunyai peran penting dalam ekosistem Gunung Halimun. Sifat pohon aren sebagai tanaman konservasi membuat pohon dimaksud mempunyai fungsi ekologis, dimana tumbuhan itu dapat mencegah erosi dan longsor di sekitar lokasi lingkungan.

Kemampuan pohon aren dalam menjaga lingkungan dikarenakan tumbuhan ini merupakan kelas monokotil, sehingga mempunyai akar serabut dan bulu akar yang banyak. Dengan sistem perakaran yang kuat, pohon aren dapat menjaga kestabilan tanah dengan baik (Muryani, 2019).

Tanaman aren juga tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah liat, berlumpur, atau berpasir, tetapi aren tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya tinggi (PH tanah terlalu asam).
Pohon aren dapat tumbuh pada ketinggian 9 – 1.400 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun atau pada iklim sedang dan basah (Schmidt dan Ferguson dalam Rafii, 2010).
Gunung Halimun sendiri merupakan habitat dengan mikro iklim yang sangat baik untuk tumbuh kembang pohon aren. Nilai sosial pohon aren terjadi ketika terdapat permukiman yaitu beberapa dusun di dalam Taman Nasional Gunung Halimun.

Pembuatan gula aren (Foto: Istimewa)

Pohon aren menjadi komoditas utama sebagai mata pencaharian utama masyarakat di daerah itu. Pengetahuan keterampilan menyadap pohon aren pun telah diperoleh secara turun menurun. Begitu juga halnya yang dilakukan dalam mengambil hasil bumi lainnya di hutan.

Seperti halnya mengambil ikan di laut, begitulah yang dilakukan masyarakat terhadap pohon aren yang telah tumbuh alami dalam habitat asli hutan, dan perawatan yang dilakukan terhadap pohon aren tanpa menggunakan bahan kimia (organik).

Masyarakat yang berdomisili di area Gunung Halimun sendiri merupakan masyarakat kasepuhan yang menjunjung tinggi nilai kearifan tradisional. Masyarakat adat identik dengan nilai etika tertinggi terhadap alam yang dinamakan “ecosophy”.

Dengan nilai ecosophy, masyarakat atau warga setempat menganggap lingkungan sebagai tempat tinggalnya sehingga mereka tidak akan merusaknya, tetapi bahkan menjaga dan melestarikannya.

Peraturan Menteri

Dalam kaitan dengan pohon aren, masyarakat adat hanya boleh menyadap aren dari pohon aren yang berada di zona pemanfaatan. Memang dalam setiap taman nasional terdapat beberapa zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.76/MenLHK-Setjen/2015.

Suatu hal yang menjadi ironis berdasarkan peraturan ini adalah bahwa dalam pembatasan pengambilan tanaman terdapat batasan wilayah yang dapat dimanfaatkan. Peraturan pemanfaatan sumber daya alam di Gunung Halimun itu telah membatasi masyarakat adat dalam memanfaatkan sumber daya alam di rumahnya sendiri.
Peraturan tersebut hadir jauh sesudah nenek moyang mereka menetap di Gunung Halimun, bahkan mungkin jauh sebelum lahirnya negeri ini. Halimun sepertinya merupakan anugerah kayanya sumberdaya alam namun berisi masyarakat miskin.

Legalitas masyarakat adat di dalam area Gunung Halimun berada di Belanda dengan dokumen yang dinamakan “Agendeum”, dan sudah ada beberapa penduduk desa yang telah mempunya sertifikat kepemilikan tanah berdasarkan dokumen tersebut.

Kondisi ini masih terus diperjuangkan oleh kepala dusun yang disebut sebagai “Jaro”. Semoga suatu hari nanti masyarakat adat di Gunung Halimun mendapatkan legalitas kepemilikan lahan yang paripurna.

Nilai ekonomi pohon aren sendiri menjadi tinggi ketika semakin maraknya permintaan masyarakat terhadap gula aren yang dikenal dengan sebutan “brown sugar”. Berdasarkan penelitian, gula aren bukan hanya sekedar manis, namun sehat dan aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.

Permintaan brown sugar terutama yang berupa gula aren semut bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri sebagaimana diperlihatkan dengan adanya beberapa “Letter of Intent (LOI) Offtaker (penampung) pada beberapa negara Eropa yang bekerjasama dengan koperasi dan gabungan kelompok tani lokal.

LOI itu sendiri adalah surat pernyataan resmi dari seseorang atau perusahaan yang menyampaikan niat atau ketertarikan untuk melakukan pembelian. Dari LOI akan terbuka komunikasi untuk ke tahap selanjutnya.

Pemenuhan kebutuhan ekspor sejatinya merupakan jawaban dari peningkatan kualitas hidup penyadap aren di Gunung Halimun. Mereka medapatkan harga yang lebih baik dibanding jika gula aren dipasarkan di dalam negeri, sehingga untuk memenuhi prasyaratan ekspor para petani membutuhkan kaloborasi dengan beberapa stakeholder.

Baca juga :

Dede Farhan Aulawi Beri Motivasi Serdik Setukpa Polri di Sukabumi, Jawa Barat

Sementara itu nilai idealisme penyadap aren di Gunung Halimun untuk mempertahankan pemeliharaan pohon dan gula aren tanpa sentuhan bahan kimia serta tidak digunakannya campuran pemanis lain merupakan poin penting untuk memenuhi permintaan ekspor.

Pada titik ini, menjadi suatu kajian menarik apakah konsep “food estate” jika diterapkan di Gunung Halimun dapat menjaga keseimbangan idealisme penyadap pohon aren dengan kebutuhan pasar yang semakin luas terhadap gula aren.

Food estate merupakan istilah populer dari kegiatan usaha budi daya tanaman skala relatif luas yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.

Dr Uci Sulandari Ssi Msi adalah Akademisi/Pengajar Universitas Binawan, Ketua Lembaga
Pendamping Produk Halal Generasi Muda Math’laul Anwar (Gema MA), dan Direksi PT
Green Enviro Resources.

Penulis: Oleh : Dr. Uci Sulandari, Ssi., MsiEditor: Yul
  • Bagikan

Comment