Tanganrakyat.id, Indramayu, – Wanita berisial R yang diduga sebagai korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) didampingi berbagai organisasi diantaranya Dewan Pimpinan Cabang, Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia (DPC-DPN SBMI) Indramayu, serta Solidaritas Perempuan (SP), audiensi ke Kejaksaan Negeri Indramayu, Jawa Barat pada Senin (12/02).
Mereka meminta agar Kejaksaan melaksanakan restitusi pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan nomor register: 218/Pid.Sus/2023/PN Idm yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Indramayu pada Oktober 2023 lalu.
Dalam putusan tersebut Terdakwa Sdr. S dikenai hukuman pidana penjara selama 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan dan di denda sebesar Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta ribu rupiah) pun Terdakwa dibebani restitusi yang harus ia bayarkan ke Korban. Sdr R sebesar Rp. 71.040.500 (tujuh puluh satu juta empat puluh ribu lima ratus rupiah), namun terhitung sampai Februari 2024, Korban tak pernah mendapatkan hak restitusinya.
Ahmad Jaenuri, Ketua DPC Indramayu saat audensi mempertanyakan bagaimana tindak lanjut kejaksaan terkait eksekusi restitusi yang seharusnya telah diterima Korban, mengetahui pengadilan telah memutus kasus TPPO.
Kejaksaan Indramayu yang diwakili oleh Krisna Prasetiya Wijaya selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara dimaksud pun bersama dengan Ari selaku Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejaksaan Negeri Indramayu, menjelaskan bahwa ada kesulitan dalam memproses hak restitusi untuk korban oleh Kejaksaan. Menurut mereka, kesulitan ini karena adanya pembatasan waktu oleh regulasi yang menyatakan bahwa kejaksaan harus membuktikan kepada pengadilan tentang aset yang dimiliki oleh terdakwa untuk kemudian pengadilan memutuskan harta tersebut diberikan kepada korban sebagai bentuk restitusi.
“14 hari bagi kami itu adalah waktu yang singkat, dan apa yang mau dikatakan jika itu adalah perintah undang-undang dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana kami terbatasi disana. Untuk itu restitusi belum dapat dilaksanakan, itulah keterbatasan-keterbatasan yang ada di kejaksaan karena memang tidak ada penyitaan dari awal. ” terang Krisna.
Hal ini kembali ditimpali oleh Ari, bahwa bukti kepemilikan sahih harta Terdakwa sulit untuk dilacak, terutama dokumen pertanahan, “Karena ketika kita mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melihat harta tidak bergerak terdakwa berupa tanah dan bangunan, tidak ada datanya karena itu belum disertifikatkan secara resmi.” timpal Ari
Menanggapi pernyataan Pihak Kejaksaan Negeri Indramayu. Juwarih selaku Sekretaris Jenderal SBMI menyampaikan, bahwa tidak terpenuhinya hak restitusi korban merupakan salah satu alasan banyaknya korban TPPO asal Indramayu tidak ingin melaporkan kasusnya ke pihak yang berwajib, karena proses yang lama, dan korban juga harus mengeluarkan biaya selama proses hukum berlangsung, serta sulitnya korban menerima hak restitusinya.
Baca juga:
KDEI Taipei Berkomitmen Lindungi Pekerja Migran Indonesia di Taiwan
Sedangkan Andriyeni, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional SP, mendesak Kejaksaan melakukan inovasi-inovasi untuk pemenuhan hak restitusi. SBMI dan SP akan terus melakukan langkah langkah yang diperlukan agar hak-hak sebagai perempuan dan korban perdagangan orang mendapatkan keadilan utuh sesuai apa yang diputuskan oleh pengadilan.
Comment