Jakarta, tanganrakyat.id – Keputusan Polres Metro Depok menghentikan pengusutan kasus kekerasan bersenjata tajam yang diduga dilakukan oleh Chorinus Eric Nerokou (CEN), seorang Executive Vice President (EVP) Bantuan Hukum PT PLN (Persero), melalui jalur Restorative Justice (RJ), memicu gelombang desakan untuk peninjauan ulang.
Penghentian kasus yang melibatkan pengeroyokan dan penggunaan parang panjang terhadap juru parkir di Depok ini dinilai kontroversial dan melanggar ketentuan mutlak RJ (Restorative Justice).
Pakar hukum, Dicki Nelson, S.H., M.H., C.L.A., dengan tegas menyatakan penerapan RJ (Restorative Justice) ini harus dikaji ulang karena kasusnya melanggar setidaknya dua syarat wajib RJ (Restorative Justice).
Ancaman Hukuman di Atas 5 Tahun: Perbuatan CEN yang terekam menggunakan parang, menurut Dicki, bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat RI No. 12 Tahun 1951 terkait senjata tajam, yang ancaman pidananya mencapai 10 tahun penjara.
Menimbulkan Keresahan Publik: Tindakan kekerasan dengan sajam oleh pejabat publik di ruang umum telah menimbulkan keresahan dan ketakutan masyarakat, yang berarti RJ (Restorative Justice) tidak seharusnya dilakukan.
”Hal tersebut menerangkan bahwa dalam penerapan RJ (Restorative Justice) pada kasus ini harus dikaji ulang kembali karena tidak memenuhi syarat RJ yaitu hanya berlaku bagi tindakan pidana yang ancamannya di bawah 5 tahun,” tegas Dicki Nelson. Jum’at (31/10).
Kontroversi semakin menguat dengan respons dari pihak kepolisian. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budhi Hermanto mengonfirmasi bahwa kasus dihentikan karena adanya perdamaian.
Namun, saat disinggung soal unsur senjata tajam, jawabannya menimbulkan tanda tanya:
“Ket dari penyidik sejauh ini blm dilakukan sidik terhadap sajamnya. Penyidik masuk dari perkara awal dan tidak menyidik terkait sajam,” ujar Kombes Budhi Hermanto.
Baca juga:
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa penyidik memilah perkara (bukan menyidik UU Darurat Sajam), sehingga kasus kekerasan yang disidik memiliki ancaman pidana di bawah 5 tahun dan memenuhi syarat RJ. Sementara itu, pihak kepolisian membantah tegas bahwa status CEN sebagai pejabat tinggi BUMN memengaruhi keputusan RJ.
Tuntutan Sanksi Etik PLN Menguat
Terlepas dari proses hukum yang berakhir damai, Dicki Nelson mendesak PLN untuk tidak lepas tangan. Status CEN sebagai EVP melanggar Kode Etik Perusahaan dan Peraturan Menteri BUMN tentang GCG.
”Oleh karena itu PLN secara internal wajib menjatuhkan sanksi etik dan/atau disiplin jabatan terhadap yang bersangkutan sebagai bentuk akuntabilitas moral dan korporasi,” pungkas Dicki Nelson, menuntut pertanggungjawaban moral dan korporasi atas perbuatan pejabat tingginya.
Publik menantikan transparansi dari Polres Metro Depok untuk mengklarifikasi dasar hukum RJ yang dipakai, dan langkah tegas dari PLN terkait sanksi etik dan disiplin bagi oknum EVP tersebut.













Comment