Tanganrakyat.id , Mataram – Pengacara senior yang juga peneliti dan dosen di Gakushuin University Tokyo Dr. TM Luthfi Yazid SH LLM dalam kuliah umum di Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) Mataram baru-baru ini membahas perkembangan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dalam profesi hukum.
Dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (27/10/2023), Luthfi dalam kuliah umum yang berlangsung di Gedung Teater Ahmad Firdaus Sukmono Unizar pada 24 Oktober 2023 itu menekankan bahwa sementara teknologi dapat mengubah cara kerja hukum, namun ada aspek-aspek manusiawi yang tetap penting dalam praktik hukum.
Kuliah umum di Unizar itu sendiri diselenggarakan oleh Fakultas Hukum (FH) Unizar atas kerjasama dengan Dewan Pimpinan Daerah Kongres Advokat Indonesia (DPD KAI) Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan mengangkat tema “Masa Depan Profesi Hukum di Era Kecerdasan Buatan”.
Acara itu dihadiri sejumlah tokoh akademik dan mahasiswa FH Unizar serta para praktisi hukum dan pengurus KAI NTB. Mereka berkesempatan mendengarkan pandangan ahli tentang masa depan profesi hukum di era kecerdasan buatan.
Hadir pula Rektor Universitas Islam Al-Azhar (Unizar) Dr. Ir. Muh. Ansyar, MP., Ketua Senat Unizar Dr. Drs. H. Sahar, SH., MM, Kepala BPM Unizar dr. Velia Maya Samodra, Wakil Rektor I Dr.Sri Karyati,SH.,MH, Wakil Rektor II Unizar Siti Ruqayyah, S.Si., M.Sc.
Luthfi Yazid lebih lanjut mengemukakan, kehadiran artificial intelligence (AI) tidak perlu dianggap sebagai ancaman. Kecerdasaan buatan di era disrupsi ini tidak sepenuhnya dapat menggantikan profesi hukum, tetapi hanya dapat mempermudah pekerjaan profesi hukum.
“Kehadiran artificial intelligence tidak perlu dianggap sebagai ancaman, tetapi dia memberikan peluang untuk mempercepat pekerjaan profesi hukum,” katanya dalam presentasi yang berjudul “Masa depan profesi hukum di era disrupsi, apakah dimungkinkan kecerdasan buatan akan menggantikan manusia dalam lingkup profesi hukum”.
Dalam menghadapi persaingan dengan teknologi AI, menurut Luthfi para profesi hukum perlu meningkatkan keterampilan yang sulit ditiru oleh AI, seperti kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, kerja sama tim, dan empati guna menghadapi persaingan di era disrupsi mendatang.
Menurut Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) itu, di Hangzhou-China, sejak tahun 2017 telah diluncurkan Hakim AI, meskipun masih terbatas menangani sengketa hukum yang memiliki aspek digital, termasuk masalah jual-beli online, kasus hak cipta, dan klaim liabilitas produk e-commerce.
Begitu juga dengan profesi pengacara.
Bukan tidak mungkin akan tergantikan dengan AI. Sebagaimana diketahui, AI telah mengalahkan pengacara terkemuka untuk pertama kalinya dalam sebuah kompetisi memahami kontrak hukum.
Di Indonesia, Hukumonline telah meluncurkan platform LIA (Legal Intelligence Assistant) berteknologi AI dan diklaim sebagai chatbot hukum pertama di Indonesia yang bertujuan membantu masyarakat mendapat konten edukasi hukum (hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum waris).
Secara yuridis penggunaan teknologi AI juga mendapatkan pengakuan dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.
Tetapi jika ditinjau secara normatif melalui hukum yang ada di Indonesia, AI tidak mungkin menggantikan hakim. Hal ini dapat dilihat dari syarat menjadi seorang hakim dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
AI juga tidak mungkin menggantikan pengacara karena tidak dapat memenuhi unsur persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Selain itu, AI tidak mungkin menggantikan Jaksa.
Hal ini dapat dilihat dari syarat menjadi seorang jaksa dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
Mesin kecerdasan buatan mampu menjamin kepastian hukum dengan tingkat akurasi tinggi, tetapi mesin tidak mempunyai kepekaan untuk mendekatkan hukum pada keadilan karena keadilan tidak bisa diukur secara secara saintifik.
Pemateri ke-dua menyoroti AI dari perspektif teoritis, yaitu membedah teknologi vs nurani, disampaikan oleh Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H., dosen Filsafat Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Mengawali penyampaiannya Dr. Widodo mengajak berfikir Cogito, ergo sum – Descartes yang memiliki arti aku berpikir maka aku ada, dan ada satu hal yang tidak dapat diragukan: aku yang sedang meragukan. Namun, kini justru terbalik yaitu rasio. Kita diragukan setelah hadirnya kecerdasan buatan.
Kecerdasan buatan merupakan salah satu bidang keilmuan yang mempelajari tentang bidang komputer sains yang membuat komputer memiliki kepintaran, kercerdasan untuk membantu, menyelesaikan tugas-tuas atau kegiatan manusia yang bertidak baik dan benar.
Kecerdasan buatan telah dilahirkan oleh para ilmuan matematika dunia sejak awal abad ke 17. Namun kecerdasan buatan baru mulai muncul dan ramai diperbincangkan pada tahu 1950 silam.
Kecerdasan buatan memiliki tujuan untuk membuat mesin menjadi cerdas yang artinya mesin tersebut dapat mengerjakan, menghitung dan menyelesaikan tujuan yang sesuai dengan pengguna inginkan kemudian.
Di sisi lain, dunia hukum sesungguhnya merupakan dunia nilai, bertujuan menegakkan nilai keadilan. Ini semua tidak dapat diformulasikan secara tepat dalam algoritma dan pemrograman dalam teknologi kecerdasan buatan.
Sementara itu, dalam sambutannya, Ketua Panitia, Sri Karyati, SH., MH yang juga Wakil Rektor I Unizar menyampaikan terima kasih atas kerjasama FH Unizar dengan DPD KAI NTB dalam penyelenggaraan kuliah umum tersebut.
Pada kesepatan yang sama, Rektor Unizar dalam sambutan mengemukakan, teknologi hadir menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Teknologi digital mengubah dan membantu aktivitas sehari-hari secara online. Di ruang digital, media sosial menjadi sumber utama dari segala aktivitas, baik dalam berbisnis maupun berbagi informasi.
“Dengan semakin tergantungnya kita dengan media sosial, secara tidak sadar pola aktivitas kita terbentuk oleh informasi yang kita konsumsi sehari-hari melalui media sosial. Namun kemajuan teknologi juga berpengaruh pada sikap individualism dan sikap anti sosial, yaitu mengurangi interaksi dengan sesama. Era digital mau tidak mau harus bisa diterima oleh masyarakat,” katanya.
Dalam dunia pendidikan, lanjutnya, segenap civitas akademika harus bisa beradaptasi dengan situasi dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan supaya bisa mengikuti perkembangan zaman di era digital kecerdasan buatan.
Moderator pada kuliah umum tersebut adalah Dekan FH Unizar Dr. Ainuddin, SH., MH yang juga menjabat sebagai Ketua DPD KAI NTB.
Baca juga:
Dalam Sambutannya ia menjelaskan, pelaksanaan kuliah umum merupakan salah satu bentuk kerjasama FH Unizar dengan DPD KAI NTB.
“Kerja sama antara praktisi dan akademisi dalam organisasi merupakan keuntungan yang memungkinkan adanya pengembangan ide dan ilmu yang lebih baik,” katanya.
Comment