Selamatkan Bumi dari ‘Betonisasi’: Konstruksi Hijau, Investasi Bijak Masa Depan!

  • Bagikan
Selamatkan Bumi dari 'Betonisasi': Konstruksi Hijau, Investasi Bijak Masa Depan! (Foto: Red)

Bandung, tanganrakyat.id  – Ditengah gegap gempita pembangunan infrastruktur yang tak terbendung, sektor konstruksi terus menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbon dan pengguna sumber daya alam. Setiap gedung pencakar langit dan jalan tol menyimpan jejak ekologis yang mendalam, menuntut sebuah perubahan filosofi mendasar.

Solusi strategis yang muncul bukan sekadar tren, melainkan sebuah kebutuhan mendesak:

Konstruksi Hijau (Green Construction).
​Konstruksi hijau, menurut Dede Farhan Aulawi, seorang pengamat pembangunan berkelanjutan, bukanlah sekadar label mewah, melainkan lompatan dari pembangunan yang “cepat dan boros” menuju pembangunan yang “bijak dan berkelanjutan.”

Filosofi ini bertujuan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan sepanjang seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain, material, hingga operasionalnya.

​Prinsip inti dari konstruksi hijau berpegang pada tiga pilar: efisiensi, konservasi, dan inovasi. Efisiensi ganda diprioritaskan, termasuk efisiensi energi dan air misalnya, beralih dari penggunaan AC boros ke desain arsitektur yang memaksimalkan pencahayaan dan ventilasi alami.

Selain itu, teknologi seperti daur ulang air hujan turut dimanfaatkan, menghasilkan bangunan yang lebih sehat dan biaya operasional yang jauh lebih rendah.

​Aspek material juga menjadi kunci, mendorong kontraktor untuk meninggalkan kebiasaan mengimpor dan beralih ke material lokal dan daur ulang.

Langkah ini krusial untuk mengurangi jejak karbon akibat transportasi dan sekaligus memberdayakan ekonomi daerah.

Lebih lanjut, manajemen limbah yang ketat dengan prinsip reduce, reuse, recycle (3R) diterapkan di lokasi proyek, mengubah limbah konstruksi menjadi sumber daya baru.

​Meskipun kerap dianggap memiliki biaya investasi awal yang lebih tinggi, manfaat konstruksi hijau sesungguhnya bersifat multi-dimensi dan berkelanjutan. Secara ekonomi, efisiensi energi dan air mampu menekan biaya operasional secara signifikan dalam jangka panjang. Secara sosial, kualitas udara dan kenyamanan termal yang lebih baik meningkatkan produktivitas dan kesehatan para penghuni.

​Penerapannya di Indonesia sudah terbukti nyata, dengan beberapa bangunan seperti Gedung Kementerian PUPR dan kampus Universitas Indonesia yang telah mengadopsi standar Greenship dari GBCI sebagai tolok ukur.

Hal ini membuktikan bahwa bangunan berkelanjutan seharusnya menjadi norma, bukan lagi pengecualian.

Baca juga:

Dede Farhan Aulawi: Resolusi Jihad Abad ke-21 Bukan Lagi Senjata, Tapi Lawan Korupsi dan Kebodohan!

​Meski demikian, tantangan di Indonesia masih menghadang, mulai dari biaya awal yang mahal, kurangnya tenaga ahli bersertifikasi, hingga minimnya regulasi yang mengikat. Oleh karena itu, diperlukan intervensi serius dari pemerintah, seperti pemberian insentif pajak atau kemudahan perizinan bagi pengembang ramah lingkungan.

​Pada akhirnya, konstruksi hijau adalah kebutuhan mendesak untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional dan global.

Aulawi menegaskan, pembangunan berkelanjutan sejatinya bukan tentang seberapa cepat kita mendirikan beton, melainkan seberapa bijak kita menjaga bumi saat proses pembangunan itu terjadi. Masa depan yang hijau berada di tangan para perencana dan pekerja konstruksi hari ini.

Penulis: Dede Farhan Aulawi,
  • Bagikan

Comment