Tanganrakyat.id, Jakarta, – Indonesia Institute for Social Development (IISD), sebuah LSM serta jaringan pengendalian tembakau yang berkomitmen untuk pembangunan sosial berkelanjutan di Indonesia menggelar diskusi publik “Outlook Industri Tembakau Indonesia 2024” di Jakarta pada 30 Januari 2024.
Direktur Program IISD Ahmad Fanani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (31/01/2024) mengemukakan, diskusi publik tersebut bertujuan memberikan wawasan yang lebih luas tentang berbagai situasi terkini terkait konsumsi produk tembakau.
Menurut Ahmad, Indonesia sudah kadung terjerat candu rokok sedemikian dalam. Candu rokok yang oleh amanah undang-undang konsumsinya mesti ditekan, justru diletakkan dalam posisi sedemikian terhormat.
Pecandu zat lain direhabilitasi, tapi pecandu rokok justru dirawat dan disanjung-sanjung sebagai penyumbang pajak terbesar. Dengan kondisi yang pelik ini, pengendalian konsumsi rokok bukanlah perkara sederhana.
Ahmad memaparkan, trend konsumsi rokok meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Tahun 2005 total volume produksi rokok berkisar 235 miliar batang. Angka tersebut meningkat menjadi 279,4 miliar batang pada tahun 2011, dan tahun 2022 melonjak menjadi 323,9 miliar batang.
Data juga menunjukkan, dalam rentang lima tahun terakhir produksi tembakau meningkat dari 195,35 ribu ton pada 2018 menjadi 224 ribu ton di tahun 2022, dan kembali naik menjadi 233 ribu ton di tahun 2023.
Sementara itu regulasi mengamanahkan agar pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya. Bahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ( RPJMN secara spesifik memberikan target prevalensi dan rekomendasi strategi untuk mencapainya.
Upaya itu dilakukan, antara lain dengan penguatan regulasi, pembesaran PHW (Peringatan Kesehatan Bergambar), dan pelarangan total iklan rokok, namun belum terealisasi sampai hari ini, dan selama ini pemerintah nyaris hanya bertumpu pada kebijakan fiskal yang tak cukup efektif.
Dalam paparannya, Direktur Program IISD juga menggarisbawahi adanya pergeseran trend konsumsi rokok ke produk alternatif. Di luar konsumsi ke rokok elektronik yang meningkat signifikan, sisi yang belum banyak dicermati adalah trend konsumsi Tingwe. Dalam 2-3 tahun terakhir konsumsi Tingwe melonjak tajam.
Kenaikan cukai pada rokok pabrikan dan pandemi mendorong perokok segmen menengah ke bawah mencari produk alternatif yang lebih terjangkau, sementara tokok tembakau sekarang dengan mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan.
Jika pada masa lalu Tingwe lekat diasosiasikan sebagai rokok orang sepuh, sekarang anak-anak muda juga banyak yang mengkonsumsinya.Bahkan ada semacam romantisasi produk ini sebagai anti mainstream, warisan budaya, dan lain-lain.
Diskusi publik “Outlook Industri Tembakau Indonesia 2024” itu sendiri dihadiri praktisi media Maria Hartiningsih, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, dan mantan Wamendikbud Prof. dr. H. Fasli Jalal Ph.D sebagai penanggap pemaparan “Outlook Pengendalian Tembakau 2024”.
Pada kesempatan yang sama, Adviser IISD Dr. Sudibyo Markus mengatakan, perilaku industri rokok, dari produksi sampai konsumsi, dipengaruhi sikapnya untuk menyembunyikan zat nikotin sebagai zat berbahaya yang mengancam kesehatan dan kehidupan.
Menurut Sudibyo, nikotin itu zat yang sangat berbahaya. Mereka (industri rokok) tidak saja tidak mengakui secara formal (adanya zat nikotin itu), tetapi mereka dengan segala cara membohongi publik akan keberadaan nikotin yang berbahaya tersebut.
Rokok yang terdiri atas zat nikotin, tar, dan zat karsinogenik serta merusak kesehatan dan ancaman kematian sudah merambah anak dan merenggut hak hidup, hak kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang serta perlindungan anak.
Adviser IISD menegaskan, pengendalian tembakau di Indonesia memerlukan intervensi yang holistik dan komprehensif dari hulu dan hilir serta memerlukan waktu cukup panjang untuk mewujudkan apa yang diharapkan pegiat pengendalian tembakau.
Bersatu Selamatkan Anak Bangsa
Dalam diskusi publik tersebut, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah.
Tantangan dalam pengendalian tembakau di Indonesia sangat berat, termasuk paradigma masyarakat yang secara logis menganggap tembakau sebagai produk normal, padahal itu produk abnormal.
Di Singapura, masyarakatnya menganggap rokok sebagai sebuah penyakit. Untuk itu, lanjut Tulus, perlu keterlibatan semua pihak dalam mendorong pemerintah untuk melakukan penguatan pengendalian tembakau dari berbagai kebijakannya ke depan.
Ia juga menyoroti soal iklan rokok di internet yang belum ada regulasinya. Tulus mendukung pelarangan total iklan dan promosi rokok sebagai salah satu arah kebijakan pembangunan nasional.
Pada kesempatan yang sama Praktisi Media Maria Hartiningsih mengatakan, diperlukan penelitian dan pengkajian lebih dalam soal fenomena tembakau iris atau merokok dengan melinting rokok sendiri, atau lebih populer sebagai Tingwe atau nglinthing dhewe (melinting sendiri-bahasa Jawa) yang semakin marak belakangan ini.
“Selain itu, fenomena saat ini semakin mudah kita menemui anak muda yang menggunakan rokok elektrik atau Vape. Ini harus menjadi perhatian kita,” ujarnya.
Dalam kaitan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini mendesak negara-negara di dunia untuk menerbitkan aturan yang melarang rokok elektrik atau vape aneka rasa. Seruan WHO tersebut berdasarkan sejumlah penelitian bahwa tidak ditemukan bukti bahwa rokok elektrik bisa menjadi alternatif lebih sehat dari rokok tembakau.
WHO juga menyoroti peredaran vape di pasar terbuka dan dijual secara masif kepada generasi muda dengan menyinggung 34 negara yang telah melarang penjualan rokok elektronik, 88 negara yang tidak menetapkan usia minimum untuk pembelian rokok elektrik, dan 74 negara yang tidak memiliki aturan terkait produk-produk tersebut.
Sementara itu, Tien Sapartinah meminta agar negara bertanggung jawab dalam pengendalian tembakau. Dia juga mengharapkan pemimpin yang akan datang berkomitmen dalam penguatan pengendalian tembakau, didasarkan pada keberpihakan kepada masyarakat.
Dalam hasil diskusi publik itu juga disimpulkan adanya desakan kuat kepada pemerintah mengenai perlunya mentaati Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana untuk sekian lama pemerintah telah tunduk kepada intervensi industri yang selalu mempertentangkan antara kehidupan petani dan pekerja industri sebagai bumper kepentingan industri.
Baca juga:
Kumpulkan Ribuan Puntung Rokok di Benteng Fort Rotterdam Berbuah Manis untuk Aira
FCTC memungkinkan perlindungan bagi kesehatan masyarakat melalui pengendalian permintaan, harga dan cukai, kemasan dan pelabelan, iklan atau promosi dan sponsor rokok, serta perlindungan dari asap. Selain pengendalian permintaan, perlu juga dilakukan pengendalian penawaran, termasuk upaya melarang penjualan rokok pada anak di bawah umur.
Comment