O’ushj.dialambaqa Direktur PKSPD: Revisi KPK Dan KPK Bagi Kita

  • Bagikan
O’ushj.dialambaqa Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) (Foto. KkP)

Tanganrakyat.id, Indramayu – Masih mengkrital dalam ingatan kolektif kita bagi penggiat antikorupsi dan atau yang peduli Negara (ke-indonesia-an), polemik yang sambung menyambang mengenai eksistensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yaitu sebuah pertarungan dan pertaruhan marwah Cicak versus Buaya Jilid I, 2009. Cicak vs Buaya merupakan

Metafora yang dipersonifikasikan dari statemen Kabareskrim Polri Komjen Pol. Susno Duadji: “cicak kok mau melawan buaya” (Majalah Tempo, edisi 6-12/7/2009). Cicak vs Buaya berlanjut dengan Jilid II dan III, kemudian kini muncul KPK Jiid IV, yaitu KPK vs Komodo; Revisi UU KPK (RUU KPK) inisiatif DPR (Senayan) yang disetujui oleh Presiden (Istana) yang katanya, untuk memperkuat KPK, bukan melemahkan KPK..
Komodo merupakan metafora dari dua kekuatan besar negeri ini yang mengklaim sebagai pemegang mandat penuh atas kedaulatan rakyat, yakni Senayan (DPR RI sebagai Lembaga Legislasi, peng-inisiatif RUU KPK) dan Istana (Negara; Presiden/Pemerintah) sebagai otoritas domain absolut bisa diberlakukannya RUU KPK sebagai UU KPK setelah disahkan Senayan.
RUU KPK No. 30 Tahun 2002, kini telah disahkan Senayan, Selasa, 17/9/2019 menjadi UU KPK (tetapi hingga artikel ini dibuat belum diundangkan melalui Lembaran Negara, di mana setiap warga Negara RI dianggap tahu dan atau mengerti keberadaannya jika sudah masuk dalam Lembaran Negara), ternyata, gelombang unjuk rasa makin membesar, menyublim menyeluruh diberbagai daerah; di suarakan para akademi, kampus-mahasiswa, intelektual dan civil society, dan di tengah riuh gemuruhnya pro dan kontra, KPK pun kini dihembuskan kuatnya angin adanya friksi antarpenyidik dalam tubuh KPK yang kemudian ada stigmatisasi Polisi India dan Tiliban. Taliban adalah untuk mempersonifikasi Novel Baswedan dan kelompoknya (Novel Baswedan: Radikal & Taliban?) yang diunggah ke youtube: Official NET News, dan di samping Taliban ada kubu Polisi India. Dalam kaca mata public, Taliban adalah sosok militan dan atau terorism sedangkan Polisi India adalah sosok penyidik seperti Polisi yang digambarkan dalam film-film India; kompromistis dengan diut dan atau bisa disuap.
Cicak vs Komodo ini, konten dan substansinya adalah RUU KPK No. 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan inisiatif Senayan, kemudian disusul dengan terbitnya Surpres (Surat Presiden), persetujuan untuk melakukan pembahasan dan pengesahan RUU KPK tersebut, di mana semua publik kritis (mahasiswa, intelektual, akademisi dan para penggiat antikorupsi, civil society) mengatakan, itu merupakan pelemahan KPK sebagai lembaga antirasuah, berbanding terbalik dengan penjelasan dan argumentasi Senayan (Fahri Hamzah, Arteria Dahlan, Masinton Pasaribu, Asrul Sani dkk) dan Istana (Presiden Joko Widodo) yang dipertegas kembali oleh Menkumham Yasonna H Laoly dan Tenaga Ahli Utama Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin dan Menkopolhukam Wiranto, sebagai representasi dari pemerintahan Presiden Jokowi, dan kemudian digemakan oleh sayap sumbu lingkaran Istana, yaitu Nyi Dewi Tanjung (Nyai Dewi Ambarwati Tanjng) dan Denny Siregar dkk dengan chanel youtube monolognya.
Dua kutub argumentasi tersebut selalu memanas di setiap acara televisi, dan bahkan membuat geram dan jengkel kita semua, terutama yang menolak revisi maupun yang setuju. Kedua kutub tersebut juga saling berdemo mengatasnamakan logika dan

akal waras, dan bahkan youtube Nyi Dewi Tanjung merepresentasikan suara Komodo untuk second opinion dan atau tengah menegasikan perang dingin dalam relasi kekuasaan, bukan dalam perang wacana-diskursus ataupun dalam dialektika intelektual, karena bertumpu pada kekuasaan menjadi panglima, atau tengah mentasbihkan berfikir sebuah rezim penguasa.

Representasi Senayan
Arteria Dahlan, Masinton Pasaribu, Fahri Hamzah, Asrul Sani merupakan keniscayaan yang merepresentasikan Senayan diberbagai ruang publik; televisi, koran, dan berbagai media lainnya bahwa RUU KPK itu bukan untuk melemahkan, tetapi untuk menguatkan KPK. Ini artinya, Senayan tengah merepresentasikan eksistensi semua fraksi dan para Legislatornya yang berada di Senayan dan atau sekaligus juga tengah merepresentasikan person; orang per orang yang berada dalam bendera partai politik maupun para underbouw dan simpatisannya; Nyi Dwi Tanjung, Denny Serigar, dan Pemuda Relawan Cinta NKRI dan yang mengklaim dirinya Aliansi Mahasiswa (yang berdemo pada 13/9/2019 di depan gedung KPK), bahwa Senayan dan lingkaran Isranalah yang paling paham dan mengerti dengan apa yang disebut dengan kata (kalimat): “menguatkan KPK” atau “melemahkan KPK”.
Senayan dan Istana juga sekaligus tengah merepresentasikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang dungu atau idiot atau pandir atau keledai, sehingga jika kita mengatakan bahwa RUU KPK itu “melemahkan”, maka itu sebagai potret kedunguan bangsa dan atau kebangsaan yang dungu. Tetapi, jika kita mengatkannya bahwa revisi UU KPK itu merupakan “penguatan terhadap KPK” atau “menguatkan KPK”, maka Senayan akan merepresentasikannnya sebagai bangsa yang cerdas, intlek dan pintar, karena, lagi-lagi, Senayan dan Istana mengatakan, bahwa RUU KPK tersebut adalah justru menguatkan KPK dengan mendalilkan bahwa Senayan dan Istana telah mendengarkan khutbah para Guru Besar (Profesor).
Kemudian, suara di luar Senayan dari berbagai kalangan; Kampus-Mahasiswa, Intelektual, Guru Besar, Penggiat Antikorupsi, Civil Society dan lainnya dianggap keledai atau si pandir, sehingga biarkan Anjing Melolong, Kafilah Tetap Berlari Kencang. Padahal, di negeri ini, tidak sedikit intelektual salon bertebaran di mana-mana dan pelacuran akademisi berada di mana-mana, dimana karakter dasarnya adalah selalu menyokong kebijakan rezim penguasa, menjungkirbalikan logika dan akal waras, yang oleh Pierre Bourdieu mapun Antonio Gramchi dikatakan itu sebagai pengkhiatan kaum intelektual, karena intelektualnya atau pengetahuan akademiknya dipakai untuk menjustifikasi atas nama ke-akademisi-annya untuk berbagai kepentingan, yang sejatinya bertentangan dengan logika dan akal waras itu sendiri.

Mari Bertanya
Mari kita bertanya pada tamatan SD (Sekolah Dasar) saja, tak usah bertanya pada guru Bahasa Indonesia, terlalu jauh levelnya apalagi para dosen. Cukup dengan tamatan SD yang logika, IQ dan akal warasnya di atas rata-rata Kecebong dan Kampret, apakah benar bahwa yang berikut ini adalah “menguatkan” bukan “melemahkan” KPK?
RUU KPK versi Senayan antara lain: (1) KPK adalah rumpun lembaga Pemerintah Pusat (Eksekutif). Pegawai KPK berstatus ASN (Aparatur Sipil Negara/PNS). (2) Penyadapan, Penggeledahan dan Penyitaan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas Dewas). Dewan Pengawas dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporannya pada DPR setiap tahunnya. Penyadapan diberikan batas waktu 3 bulan. (3) Penyelidik dan Penyidik KPK hanya berasal dari Polri. (4) KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan Penuntutan Korupsi. (5) Perkara yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, yang sebelumnya diatur di Pasal 11 huruf b UU KPK, tidak lagi tercantum, yaitu: mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.(6) Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses Penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK. (7) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; Pelarangan ke luar negeri, Meminta keterangan perbankan, Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, Meminta bantuan Polri dan Interpol. (8) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3). Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun. (9) Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi. (10) Lembaga KPK hanya ada di Pusat, dalam UU KPK No. 30/2002, KPK bisa berada di daerah-daerah seperti lembaga Kepolisian dan Kejaksaan ada di Propinsi, Kota dan Kabupaten. (11) Peran dan fungsi KPK menitikberatkan dan atau lebih fokus terhadap pencegahan, bukan pendindakan.
RUU KPK versi Istana, pada prinsipnya setuju dengan Senayan, hanya 4 (empat) hal yang ditolak Presiden dan tambahan soal SP3.: (1) Saya tidak setuju jika KPK harus meminta izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan, misalnya izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup meminta izin internal Dewan Pengawas (Dewas) untuk menjaga kerahasiaan. (2) Saya tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN, dari pegawai KPK, maupun instansi lainnya, tentu saja harus melalui prosedur rekruitmen yang benar. (3) Saya juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan Kejagung dalam penuntutan. Karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi. (4) Saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini, dan (5) SP3 diterbitkan dari 1 (satu) tahun menjadi 2 (dua) tahun.
Kedua versi tersebut lantas apa jawaban tamatan SD yang logika, IQ, akal waras dan kejujurannya di atas rata-rata Kecebong dan Kampret, pastilah akan mengatakannya: ya jika begitu, ya itu bukan menguatkan KPK, tetapi akan melemahkan KPK. Ternyata tamatan SD tersebut, logika dan akal warasnya tak jauh dari api dari panggganya, bahwa itu merupakan upaya pelemahan kepada lembaga antirasuah (KPK) dalam melakukan pemberantasan korupsi yang kini para koruptornya masih tegak, perkasa berjejar dari Sabang hingga Meuroke. KPK sebagai simbol marwah perang terhadap korupsi menjadi kehilangan ruhnya. Yang masih meng-ada tinggal simbolnya saja.
“Mengingat tujuan kemerdekaan RI tidak akan tercapai selama korupsi marak di Indonesia, kami dosen UGM yang bertanda tangan di bawah ini menentang setiap upaya pelemahan penanggulangan korupsi. Dosen-dosen UGM (Petisi) menolak revisi karena beranggapan revisi UU KPK  justru akan melemahkan lembaga antikorupsi itu.” (Sigit Riyanto – Prof, Dekan FH UGM, Kompas.com, Sabtu, 7/9/2019).
“Ini kecobohan luar yang biasa dan terlalu telanjang; materi dan substansinya. Prosedurnya bermasalah dan substansinya sangat bermasalah. Ini memang by design by accident. Tidak akan lagi ada OTT kalau prosedurnya diikuti. Pasal 12b, penyadapan harus dengan izin Dewas. Dalam penjelasan pasal itu, izin penyadapan diberikan setelah diadakannya gelar perkara di depan Dewan Pengawasan. Kalau kita mau OTT, misalnya, kadangkala suddenly, bisa jadi kemudian kasus itu belum disidik sebelumnya. Minta izin Pimpinan KPK pada Dewas, lalu Dewan bilang: eh sudah digelar perkaranya belum? Bagaimana mungkin kita meng-OTT orang kalau sebelum OTT kita harus menggelar perkara. Karena kalau kita menggelar perkara tanpa penyadapan, kita tidak tahu konteksnya seperti apa? Tidak mungkin ditangkap KPK kalau tidak ada konteks percapakan yang disadap KPK.
Ada 3, 4 (empat) area: Pertama, meletakan KPK di bawah Eksekutif, maka tidak lagi menjadi badan independen nantinya. Ini bisa memberikan legitimasi bagi Eksektif untuk membuat peraturan pemerintah. Bukan tidak mungkin suatu saat dia membikin peraturan pemerintah , karena ini lembaga di ranah Eksekutif, kami berhak membuat perturan untuk menjalankan undang-undang sebagimana mestinya. Kedua, ASN, dijadikan ASN pegawainya, penyelidik, penyidik dan lain sebagainya, kalau mereka balelo tinggal dipindahkan saja ke Papua dan sebagainya. Ketiga, Dewas yang luar biasa, ternyata Dewas ini memiliki tiga fungsi yang sebenarnya luar bisa. Satu, fungsi pengawasan seperti Bawaslu dalam Pemilu. Kedua, fungsi sebagai institusi pemberian izin, coba bayangkan, izin untuk menyadap, izin untuk menggeledah, izin untuk menyita. Ketiga, dia seperti DKPP, yaitu menyidangkan pelanggaran kode etik, tidak saja Pimpinan KPK tetapi juga pegawai KPK, bayangkan! Kalau kita bicara hirarkis, kita bicara administrasi pemerintahan. Kalau dia itu pegawai, pegawai itu bukan pejabatnya, pegawai itu orang biasa, dan biasa di mana-mana pegawai ini cukup ditindak oleh pimpinannya yaitu Kepala Administrasinya dalam hal ini Pimpinan KPK atau Sekjen KPKnya, kalau pegawai.
Tapi ini yang mejadi persoalan adalah Pegawai dan Pimpinan itu disamakan, dia bisa disidang kode etik oleh Dewas. Nah kalau kita bicara ceck and balancees right, tidak ada ceck and balancees rigaht terhadap Dewas. Kalau Dewas tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan, selesai. Proses, tidak bisa diproses apa-apa. Makanya, orang-orang yang secara rasional paham betul dengan skenario ini, ya tidak bisa katakan lain, bahwa ini memang mau melumpuhkan KPK. Dalam desain konstitusional kita, Presiden memiliki 50% kekuasaan legislatif. Tidak ada satu RUU yang bisa lolos jika Prersiden mengatakan tidak. Tidak untuk membahas, tidak untuk persetujuan, tidak untuk pengesahkan. Kalau tidak untuk mengesahkan sah ini tidak ada gunanya, karena dalam 30 hari akan sah dan wajib diundangkan. Tapi tidak persetujuan paripurna, itu membuat RUU tersebut tidak bisa diundangkan dan yang lebih pangkal lagi adalah tidak untuk membahas dengan tidak mengirimkan Surpres.” (Refly Harun, Kompas TV, 25/9/2019: Kegaduhan RUU Kontroversial).
Dengan RUU KPK yang telah disahkan tersebut, maka sesungguhnya Istana tengah mengolok-olok dirinya dan tengah menertawakan dirinya sendiri di tengah-tengah tertawaan negeri ini, dan sekaligus menyerang harkat dan martabatnya sendiri, karena, katanya, (RUU KPK, RKUHP dan lainnya), telah pergi ke kampus-kampus, mendengarkan orang-orang di mana-mana. Dibawa ke kampus ketemu dengan Profesor-Profesor (Menkumham Prof. Yasonna Laoly: Kontroversi RKUHP, ILC, Selasa, 24/9/2019), di tengah gemuruh gelombang demo menolak RUU KPK di Jakarta dan diberbagai daerah, di mana kampus itu berada dan telah memakan korban, luka dan meninggal tertembus timah panas (Randi mahasiswa Pertanian dan Yusuf mahasiswa Teknik Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) saat demo menolak RUU KUHP dan revisi UU KPP di Gedung DPRD Sultra, akibat kebrutalan kekuasaan. Sedangkan Senayan, tengah mempertontonkan kebodohannya dan sekaligus kedunguannya, karena, katanya, telah mendengarkan masukan dari Guru Besar (Profesor)-Guru Besar. (Red)

  • Bagikan

Comment