Sejarah Indramayu: Wiralodra Utusan Demak

  • Bagikan
Pendopo Kabupaten Indramayu Jawa Barat (Foto. Red)

Oleh: O’ushj.dialambaqa

Tanganrakyat.id, Indramayu-Dalam Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari-Sutadji KS (DPDAN-STKS) dan Menapak Jejak Sejarah Indramayu-Supali Kasim (MJSI-SK), Wiralodra adalah utusan dari (Kerajaan) Demak, yang oleh DPDAN-STKS dikatakan Aria Wiralodra adalah mata-mata Kerajaan Islam Demak yang mendapat tugas khusus dari Raden Patah untuk menguasai pelabuhan Cimanuk, termasuk Galuh Kaler Nagari (MJSI-SK:29). Dalam Sejarah Indramayu-H.A. Dasuki (SI-HAD) menjelaskan, Indramayu adalah bagian dari Demak, pada masa kejayaan Kerajaan Demak. Pada saat Demak runtuh (1546 M), Indramayu di bawah Kesultanan Cirebon.

Adakah jejak benang merahnya, jika ini diasumsikan sebagai benang basah yang kusut? Jika memang benar, bahwa Wiralodra adalah utusan (apalagi sebagai spionase atau kontra spionase) yang langsung atas tugas khusus dari Raja Demak Raden Patah, maka, pastilah jejak dan benang merahnya akan sangat gamblang atau terang benderang, dan pasti pula akan ada dalam fakta, peristiwa sejarah dan ada dalam kesejerahannya.

Maka, mari kita tarik benang merahnya berdasarkan berbagai sumber sejarah dan catatan-catatan sejarah mengenai Kerajaan Demak hingga runtuhnya Demak, seperti yang ditulis oleh Paul Michel Munoz: Early Kindom of the Indonesian Archepelago and the Malay Peninsula {Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia-Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (zaman Pra Sejarah-Abad XVI)}, M.C. Ricklefs (2002), A History of Modern Indonesia, Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, Uka Tjandra Sasmita (2009), Arkeologi Islam Nusantara, dan referensi lainnya yang terkait dalam fakta sejarah dan dalam kesejarahannya, untuk membentangkan apakah ada benang merah yang bisa memperkuat bahwa Wiralodra adalah utusan Demak sebagaimana klaimnya dalam SI, karena dalam klaim SI bahwa Wiralodra adalah DNA Bagelen disatu sisi dan disisi lain adalah DNA Banyuurip (Purworejo) ternyata gugur, patah dan amat kacau balau, dan terlampau amat naïf dalam sejarah dan kesejarahannyan dalam “tanda dan penanda” baik dalam tafsir semiotika (semiologi) maupun hermenetik sosiologis pada zamannya.
Kerajaan Demak

Raden Patah adalah pendiri Kerajaan Demak, sekaligus menjadi raja pertama Demak pada tahun 1500-1518 M adalah Raden Patah, merupakan putra dari Brawijaya V dari perkawinannya dengan Putri Champa dari Tiongkok. Raden Patah secara diam-diam pergi ke Jawa yang tepatnya di Surabaya dan berguru kepada Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel memerintahkan kepada Raden Patah supaya pindah ke Jawa Tengah untuk membuka hutan Glagah Wangi atau Bintara lalu mendirikan pesantren. Lambat laun, banyak yang menjadi santri di pesantren tersebut dan pada akhirnya, Demak berkembang pesat. Raden Patah dikukuhkan menjadi Adipati Demak oleh ayahnya, Brawijaya V dan mengganti nama Demak menjadi Bintara (Bintoro) yang akhirnya disebut Demak Bintara.

Disisi lain, di dalam Kerajaan Majapahit tak bisa terrelakan lagi, timbul pemberontakan dan perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan. Melihat situasi tersebut, Raden Patah justru memanfaatkannya untuk melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit, dibantu para Bupati. Raden Patah akhirnya menyerang Majapahit pada pemerintahan Brawijaya VI. Majapahit runtuh, berdirilah Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di P. Jawa di bawah kepemimpinan Raden Patah sebagai raja pertama. Raden Patah mendapat dukungan para walisongo, semasa pemerintahan Prabu Brawijaya ke-V/Kertabumi, yaitu tahun ± 1478 M. Sinengkelan (ditandai dengan Condro Sengkolo) “Sirno Ilang Kertaning Bumi”. Adapun berdirinya kerajaan Demak sinengkelan “geni mati siniram janmi” yang artinya tahun soko 1403 / 1481 M.

Sebelum Demak menjadi pusat kerajaan, Demak merupakan Kadipaten di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit (Brawijaya V), dan sebelumnya, Demak lebih dikenal dengan nama “glagah wangi”, wilayah Kadipaten Jepara, dan merupakan satu-satunya Kadipaten yang Adipatinya memeluk Islam. Desa Glagah Wangi {menurut cerita (mitologi) rakyat, orang yang pertama kali dijumpai Raden Patah di Glagah Wangi adalah Nyai Lembah yang berasal dari Rawa Pening. Atas saran Nyai Lembah, Raden Patah bermukim di desa Glagah Wangi yang kemudian dinamai “Bintoro Demak”}, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Ibu Kota Negara.

Dari penilitian IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Walisongo Jawa Tengah tahun 1974 tentang bahan-bahan sejarah Islam di Jawa Tengah bagian Utara, disimpulkan, ada beberapa pendapat mengenai letak kesultanan (istana kerajaan) Demak, yaitu, Pertama, bekas kesultanan Demak itu tidak ada. Dengan keterangan bahwa Raden Patah mulai menyebarkan agama Islam di Demak adalah semata-mata untuk kepentingan agama Islam. Pendirian masjid Demak bersama para Walisongo merupakan lambang Kesultanan Demak. Sedangkan tempat kediaman Raden Patah bukan berupa istana yang megah, tetapi sebuah rumah biasa yang letaknya diperkirakn sekitar stasiun Kereta Api sekarang, tempat itu dinamakan “Rowobatok”.

Kedua, pada umumnya letak masjid tidak terlalu jauh dari istana. Diperkirakan letak kraton Demak berada di tempat yang sekarang didirikan Lembaga Pemasyarakatan (sebelah Timur alun-alun), dengan alasan bahwa pada zaman kolonial ada unsur kesengajaan menghilangkan bekas kraton. Pendapat ini didasarkan atas adanya nama-nama perkampungan yang mempunyai latar belakang historis, seperti, Sitihingkil (setinggil), Betengan, Pungkuran, Sampangan dan Jogoloyo.

Ketiga, letak kraton berhadap-hadapan dengan Masjid Agung Demak, menyebrangi sungai dengan ditandai oleh adanya dua pohon pinang. Kedua pohon pinang tersebut masih ada dan diantara kedua pohon itu terdapat makam Kiyai GUNDUK.

Wiralodra yang DNA moyangnya adalah Embah Kiyai Barata di Gunung Sumbing, ternyata tak berkorelasi dan tak berelari dengan Raden Patah yang DNAnya Brawijaya, apalagi Ki Tinggil dan Ki Sidum. Hal ini bisa kita telisik dari raja-raja yang bertahta di Kerajaan atau Kesultanan Demak sampai dengan runtuhnya Demak, akibat perang sodara berebut tahta.

Raja-Raja Yang Bertahta

Bentuk pemerintahan Kesultanan
Sultan:
– 1475 -1518 Raden Fatah
– 1518-1521 Pati Unus
– 1521-1546 Trenggana
– 1546-1547 Sunan Prawoto (Rd. Mukmin)
– 1547-1554 Arya Penangsang

Raja-raja yang bertahta di kerajaan Islam Demak hingga runtuhnya kerajaan Islam Demak adalah sebagai berikut:
Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Raden Patah (1500-1518). Raden Patah (bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama), sebelum mendirikan Kerajaan Demak terkenal dengan nama Pangeran Jimbun, dan setelah menjadi pendiri kerajaan Demak bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah. Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar dan menjadi pusat penyebaran agama Islam yang penting. Pada masa pemerintahan Raden Patah, membangun Masjid Agung Demak yang letaknya di tengah kota Alun-alun Demak. Kedudukan Demak semakin penting peranannya sebagai pusat penyebaran agama Islam setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, tetapi juga menjadi ancaman bagi kekuasaan Demak. Maka, pada tahun 1513, Raden Patah mengutus putranya sendiri yaitu Pati Unus dan para armadanya untuk menyerang Portugis di Malaka. Serangan ke Malaka dibantu oleh Aceh dan Palembang, tetapi gagal dikarenakan kualitas persenjataan yang kurang memadai dibanding Portugis di Malaka.
Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Pati Unus (1518-1521). Pada tahun 1518 ketika Raden Patah sudah wafat, pemerintahan Kerajaan Demak digantikan putranya sendiri, yaitu Pati Unus. Pati Unus sangat terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin perlawanan terhadap Portugis yang telah menguasai Malaka. Karena keberaniannya itu Pati Unus mendapatkan julukan Pangeran Sabrang lor. Ia juga mengirim Katir untuk mengadakan blokade terhadap Portugis di Malaka, hal itu mengakibatkan Portugis kekurangan bahan makanan. Kerajaan telah diperluas ke Barat dan ke hulu Sungai Brantas atau pada saat ini dikenal dengan kota Malang.
Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546). Pati Unus wafat, tidak mempunyai anak, jadi tahta kerajaan digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Trenggono. Di bawah pemerintahan Sultan Trenggono, Demak mencapai masa kejayaannya. Raden Trenggono dikenal sebagai raja yang sangat bijaksana dan gagah berani, dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yang meliputi Jawa Timur dan Jawa Barat. Musuh utama kerajaan Demak adalah Portugis yang mulai memperluas pengaruhnya ke Jawa Barat. Potugis menjalin kerjasama dengan Raja Pajajaran, kemudian Portugis mendirikan benteng Sunda Kelapa di Jawa Barat. Demak di bawah Sultan Treggono sangat tidak suka dengan sikap Pajajaran, maka pada tahun 1522 Sultan Trenggono mengirim tentaranya ke Sunda Kelapa di bawah pimpinan Fatahillah yang bertujuan untuk mengusir bangsa Portugis dari Sunda kelapa. Tahun 1527 Fatahillah dan para pasukannya berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Sejak saat itulah Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, yang artinya kemenangan yang sempurna, dan sampai saat ini dikenal dengan nama Jakarta. Sultan Trenggono memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya dan berupaya menyatukan P. Jawa di bawah kekuasaan Demak, maka Sultan Trenggono mengambil langkah, menyerang daerah Pasuruan di Jawa Timur (Kerajaan Hindu Supit Urang), dipimpin Sultan Trenggono sendiri, tetapi serangan ke Pasuruan tidak berhasil (gagal), Sultan Trenggono meninggal dalam pertempuran menaklukkan Pasuruan. Fatahillah, menyerang Jawa Barat (Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon, bukan Indramayu. Jadi Indramayu di bawah kekuasaan Kesultanan Cirebon), kemudian mengadakan perkawinan politik. Seperti, Pangeran Hadiri dijodohkan dengan puterinya (Adipati Jepara). Fatahillah dijodohkan dengan adiknya. Pangeran Pasarehan dijodohkan dengan puterinya (menjadi Raja Cirebon). Joko Tingkir (Hadiwijaya) dijodohkan dengan puterinya (Adipati Pajang).

Jadi, Demak di bawah raja Raden Trenggono mengahadapi ancaman Portugis dan penaklukan ke Jawa Barat yang diutus adalah Fatahillah, bukan Wiralodra. Wiralodra yang gagah perkasa dan bisa menjelma menjadi seekor burung dan menjadi petir dan atau bisa menjelma menjadi apa saja tergantung pada musuhnya atau siapa yang dihadapinya, ternyata dalam sejarah dan dalam kesejarahan Demak tak ada satupun yang bisa dijadikan klaim dalam kesejarahan Wiralodra yang katanya adalah utusan Demak, sekalipun jadi mata-mata.

Wiralodra dengan Cimanuknya

Cimanuk {(Sungai Burung), Ci Manuk, Tji Manuk, Tji Manoek, Tjimanoek} secara geografis dan data peta wilayah adalah sungai yang berada di bagian Timur Propinsi Jawa Barat, +/- 170 Km di Timur Ibu Kota Jakarta. Cmanuk dengan Hulu Sungai: Pegunungan Mandalagiri. Muara Sungai: Laut Jawa. Panjaang: 180 Km (110 mi). Ukuran Cekungan: DAS: 3.584 Km2 (1.384 sq mi). GeoNames: 1636266. Aliran sungai Cimanuk terdiri dari 5 Kabupten, yakni:Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramyu dan Kabupaten Cirebon, dan membelah beberapa kota di antaranya adalah Kota Garut, Jatibarang dan Indramayu. Luas DAS adalah 3.584 Km2 dengan panjang total sungai 337,67 Km. Hulu sungai berada di Pegunungan Mandalagiri-Puncakgede, Desa Simpang Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.

Jika ditilik dari geografis peta, maka kalim Cimanuk dalam SI adalah Dermayu (Indramayu) ansich, maka tidak benar dan tidak bisa dipertnggungjawabkan dalam sejarah dan dalam kesejarahannya. Bahkan, jika berdasarkan pemetaan wilayah yang ada pada peta dan DAS Cimanuk, Indramayu adalah wilayah DAS Cimanuk yang kecil atau tidak luas wilayahnya jika dibandingkan dengan total luas DAS yang meliputi Garut, Sumedang, Majalengka dan Cirebon. Jadi hanya Jatibarang dan Indramayu Kota (sebelum pemecahan beberapa wilayah menjadi kecamatan, seperti Sindang dan Pasekan).

Jika Cimanuk dikatakan sebagai pelabuhan terbesar kedua setelah Sunda Kelapa atas tafsir perjalanan Tome Pires dari Portugis (1513), perlu tafsir ulang, karena runtuhnya Majapahit Majapahit pada pemerintahan Brawijaya VI. Majapahit runtuh, berdirilah Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di P. Jawa di bawah kepemimpinan Raden Patah sebagai raja pertama, dimana Raden Patah adalah anak dari Brawijaya V dari perkawinannya dengan Putri Champa dari Tiongkok. Pada tahun 1513, Portugis masih berada di Selat Malaka dan mengauasai Malaka untuk kepentingan dagang dan sebagai pelabuhan untuk lalu lintas dagang, maka Demak di bawah Raden Patah mengutus Pati Unus untuk melawan Portugis dengan dibantu oleh Aceh dan Palembang, sekalipun Patiu Unus gagal di Malaka.

Cimanuk itu sungai bukan pelabuhan. Demak di bawah Sultan Trenggono mengutus Fatahillah untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, maka keemudian harus ekspaansi dan atau merebut (menaklukan) Cirebon dan Banten sebagai pelabuhan untuk kepentingan ekonomi Demak dengan perdagangan atau hasil rempahnya. Jika kemudian dalam buku Da Asia, Decada IV (Barros, ed, Joao Baptista Lavanha: 1615), sungai Cimanuk (Chiamo atau Chenano) memisahkan wailayah Sunda dan Jawa, dan sungai Cimanuk merupakan batas di antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, tidaklah keliru.

Mengapa Sultan Trenggono, Demak tidak suka dengan sikap Pajajaran, karena Pajajaran mengadakan kerjasama dengan Portugis, sehingga Portugis kemudian mendirikan benteng Sunda Kelapa di Jawa Barat. Aria Dilla atau Aria Damar (Pangeran Guru) adalah keturunan Bupati Palembang, keturunan Majapahit (Brawijaya V) adalah bersumber pada BD bukan pada kehasihan sejarah dalam kesejarahan, karena Brawijaya V memperistri putri Champa dari Tiongkok, yang kemudian Raden Patah sebagai ketrurunannya, yang kemudian bertahta di Kerajaan Demak menjadi Raja Demak dengan masa kekuasaan (pemerintahan) 1500-1518. Dalam silsilah Kerajaan Majapahit, Aria Dilla atau Aria Damar juga tidak ada dalam sejarahnya, sama halnya dengan Wiralodra yang dikatakan anak Bupati Bagelen Singolodraka atau darah Banyuurip atau utusan Demak, itulah bersumber pada BD, yang tanda dan penanda sejarah dan kesejarahannya gugur, ilusif.

Pelabuhan berbeda dengan sungai, karena pelabukan merupakan suatu pintu gerbang untuk masuk ke suatu daerah tertentu dan sebagai prasarana penghubung antardaerah, antar pulau, bahakan antarnegara (Triatmodjo, 2009). Maka, pelabuhan (Dermaga Labuh) identitasnya merupakan fasilitas di ujung samudra, sungai, atau danau untuk lalu lintas perdagangan, bisa juga untuk kepentingan armada perang zaman dahulu kala. Jadi yang namanya pelabuhan bisa dilintasi armada dagang, yang mana bongkar muat barang (cargo) puluhan tonase, bahkan sampai ratusan tonase. Kapal-kapal Eropa, Portugis dan lainnya, tentu adalah armada, kapal-kapal besar, karena harus melintasi Laut Cina Selatan dan Laut(an) Hindia yang gelombangnya bisa sebesar gajah atau kerbau (saya punya empirik itu pada tahun 2006/2007, ketika melakukan penelitian di P. Enggano-Bengkulu, bahkan waktu itu kapal barang antarpulau yang cukup besar, bisa dimuati muat banyak mobil dan barang kebutuhan penduduk setempat, lebih besar dari kapal-kapal yang berada di Merak-Bakauhuni, sempat terbawa gelombang sebesar gajah atau kerbau, sehingga harus kembali ke pelabuhan atau dermaga asal), dan itu tidak mungkin yang melintas setara perahu dan itu jika harus ke Malaka, Demak, Sunda Kelapa.

Cirebon dalam sejarah Demak benang merahnya kuat, karena ada kapal-kapal dagang yang bisa berlabuh di Dermaga (pelabuhan) Cirebon, sedangkan sungai hanya bisa dilintasi semacam perahu getek atau perahu-perahu yang kini bisa kita lihat di TPI Song atau Galem atau Singaraja, karena itu cuma sungai atau orang awam bilang kali.

Identitas pelabuhan sebagai dermaga labuh kapal-kapal dagang (niaga) maupun kapal-kapal perang, pastilah menghadap langsung dengan mulut laut(an), seperi pelabuhan Cirebon, dan atau ketika Indramayu mengingau ingin punya pelabuhan, maka pelabuhan itu posisinya di Eretan atau Karangsong, jika pendangkalannya bisa teratasi atau berbanding terbalik dengan biaya pemeliharaannya secara hukum ekonomi. Maka, jika sungai Cimanuk dilintasi kapal-kapal dagang Portugis (tafsir pelayaran, perjalanan Tome Peres) yang kemudian menuju Sunda Kelapa, menjadi amatlah naïf, logika dan akal sehatnya jungkir balik. Tome Pires, saya yakin tidak menggunakan kapal (armada) dagang Portugis, seperti yang dilawan Sultan Demak Trenggono atau Fatahillah, begitu juga amat naïf jika VOC kapal dagangnya menyusuri sungai Cimanuknya Wiralodra.

Begitu juga dengan klaim bahwa Endang Darma DNA (garis keturunan dekat) Muhammad Rosulullah dan Wiralodra adalah DNA Majapahit itu bersumber pada DPDAAN-STKS. Dongengan para pendongeng semata. Disatu sisi mengkalim anak Bupati Bagelen (Purworejo), di sisi lain dari Banyuurip (Purworejo), dan disisi lain, utusan Demak untuk menguasai Cimanuk, padahal Raden Fatahillah yang diutus dari Demak adalah untuk menguasai pelabuhan (lalu lintas ekonomi) dari jalur Cirebon, Banten dan Sunda Kelapa. Sehingga, tidak hanya paradoks bahkan menjadi kontradiktif. Jadi silsilah raja-raja kerajaan Islam Demak adalah berdarah (DNA) Majapahit dan Tiongkok. Cirebon, masih bisa kita diurai benang merahnya dengan Demak atau Majapahit atau Pajajaran secara logika dan akal sehat akademik, bukan kita urai dengan benang kusut klenikisme, jika itu mitologi masih masih bisa waras BD itu.

Baca juga:Sejarah Indramayu: Wiralodra DNA Banyuurip, dan Endang Darma?

Apakah kemudian Wiralodra dan Endang Darma akan muncul dalam pusaran keruntuhan Kerajaan Islam Demak? Ataukah akan kita akal-akali menyambungkan benang merah, karena sudah dinormakan dalam SI, bahwa Wiralodra adalah utusan Demak. Ataukah kita akan tetap berbangga diri dengan kebohongan dan atau pemanipulasian sejarah dalam kesejarahannya? *****

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD). Accontant Freelance. Tinggal di Singaraja. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

  • Bagikan

Comment