Sejarah Indramayu: Wiralodranya AAG vs Monalisanya LdV

  • Bagikan
Raden Aria Wiralodra Dan Monalisa (Foto. Google)

Oleh: O’ushj.dialambaqa

Tanganrakyat.id, Indramayu-Adung Abdul Gani (AAG) pelukis (perupa) yang sekaligus mantan Ketua DKI (Dewan Kesenian Indramayu) mencoba melompat melangkahi, bahkan melampaui Leonardo da Vinci (LdV) dengan “Monalisa”nya pada abad ke-16, sehingga dengan segala keringat dinginnya menumpahkan seluruh energi dan imaji-imaji liarnya untuk bisa menggambar bahkan berupaya memotret sosok Raden Wiralodra sang figur tokoh pendiri Indramayu yang gagah perkasa dan bisa menjelma banyak rupa, kata SI-HAD (Sejarah Indramayu-H.A. Dasuki), DPDAN-STKS (Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari-Sutadji KS), MJSI-SK (Menapak Jejak Sejarah Indramayu-Supali Kasim) dan SI-DT (Sejarah Indramayu-Didi Tarmidi), sehingga bisa memperdaya Raja Sumedang dengan segala tipu daya dan tipu muslihatnya dengan menjelma menjadi wanita cantik rupawan untuk mendapatkan sebagian wilayah (kekuasaan) Raja Sumedang, dan bisa menandingi para nabi dan rosul yang diutus Tuhan, padahal Wiralodan (dan Endang Darma bukanlah anak Zeus, kecuali Hercules anak hasil perselingkuhannya dengan manusia, kata mitologi Yunani, tapi itu bukanlah sejarah dalam kesejarahan, melainkan sejarah dalam kesejarahan mitologi).

Kelahiran Wiralodra

Wiralodra bukan lahir dari rahim kudus Maryam, karena keperawanan bunda Maryam hanya melahirkan Isa AS atas ke-Robbi-anNya yang kemudian diutus untuk persoalan umatnya, sebagai Nabi. Wiralodra diutus dari Kahyangan yang dilahirkan dari tangan pelukis Adung AAG, didongengkan oleh HAD dan STKS dan diulangkan dongeng oleh SK dan disinetronkan kejar tayang oleh DT. Padahal, yang namanya dongeng saya adoh saya ngaeng (dongeng, makin jauh makin melantur, makin ngawur dan bahkan makin naïf).

Isa AS sebagai Nabi lahir tanpa bapak (tidak mempunyai DNA-Ayah) atas qudrot dan irodatnya Allah SWT atas ke-maha-robb-ian-Nya, sedangkan Wiralodra tidak mempunyai Ibu (tidak ada DNA-Ibunya) atas kuasa dan kehendak HAD, STKS, SK, DT dan AAG, karena tidak disebutkan siapa nama ibunya yang melahirkan Wirolodra (apalagi DNA Endang Darma, tak berbapak dan tak beribu, tak berjejak sama sekali), hanya disebutkan nama ayahnya, yaitu Raden Gagak Singalodra yang terlahir dari Raden Gagak Pernala. Raden Gagak Pernala terlahir dari Raden Lowano, dan Raden Lowano terlahir dari Embah Kiyai Barata di Gunung Sumbing. Jadi Wiralodra terlahir dari seorang laki-laki, bukan lahir dari rahim wanita, kebalikan dari Isa AS, sehingga jauh lebih sangat dahsyat sekali, bukan? Dan, yang lebih dahsyat lagi, Endang Darma tidak mempunyai DNA Bapak dan Ibu, terlahir dari rahim antah barantah, makhluk Astral. Sejarah yang sangat dahsyat? Jadi Wiralodra secara administrasi Negara, dalam kependudukan, tidak bisa bikin Akte Kelahiran (Akte Kenal Lahir), karen tidak ada anak seorang lelaki, yang ada dalam catatan negara (Akte Kenal Lahir) adalah anak seorang Ibu. Hanya ibu yang bisa melahirkan seorang anak, apalagi Endang Darma, tentu tidak bisa sama sekali bikin Akte Kenal Lahir, karena tak ada ayah dan ibunya; DNA makhluk Astral.

Apakah AAG yang melahirkan Wiralodra tersebut setelah melakukan pertapaan di sungai Cimanuk? Sehingga, jejaknya sekarang dimonumentalkan dalam wujud Panggung Apung (apa jembatan penyebarangan?) Cimanuk (yang menelan APBD 2018 +/- Rp 11 Milyaran dengan kontruksi hidrolik, amburadul, dan kini terbengkalai dan bukan proyek multi years, Badrudin sebagai kontraktor tetap aman dan nyaman dari jeratan hukum, dan Badan Pemeriksa Keuangan pun tak mau tahu, takut sama Wiralodra dan Endang Darma, sekalipun Endang Darmanya di tangan AAG belum terlahir) atau bertapa di lereng Gunung Sumbing*) kemudian menerima wangsit, suara tanpa rupa seperti yang dialami Wiralodra di lereng Gunung Sumbing yang sama pula? Hanya AAG-lah yang bisa menjelaskannya, karena yang terdengar ke luar adalah AAG mengumpulkan sejumlah paranormal, katanya, berjumlah 23 orang, lantas ada yang mengkaitakan dengan Golkar, waktu itu nomor partai sebagai peserta Pemilu adalah no. 23, sehingga mengundang berbagai spekulatif dibeberapa kalangan, dan hasilnya kemudian AAG merekontruksi kontruks sosok Wiralodra sebagai sebuah potret yang peristiwa dan kesejarahannya sudah lampau, ribuan tahun (1527 sudah menjejak ke sungai Cimanuk, Dermayu) yang silam, sebelum kakek buyut pelukis AAG lahir. Sungguh dahsyat, bukan? Weru sajerone ning winara (tahu sebelum terjadi dan menge-tahu-i yang bakal terjadi dikemudian hari).

AAG sama halnya dengan HAD, STKS, SK dan DT, mengabaikan bahkan menyingkirkan jauh-jauh yang seharusnya ia pegang sebagai prinsip dalam penulisan, interpretasi, tanda dan penanda sejarah, di mana HAD, STKS, SK, DT dan ABG bukan sebagai pelaku sejarah dan bahkan bukan sebagai saksi sejarah atas peristiwa sejarah atau kesejarahan pada masa lampau tersebut. Sehingga, seperti orang sakit panas dan atau orang mati suri, yang bermain-main dengan dirinya sendiri, bayang-bayangnya sendiri, karena ketidakmampuannya membayangkan bayangan sumber skunder sebagai referensi intelektualnya atas masa lampau yang ribuan tahun tersebut yang diceritakan dalam BD (Babad Dermayu), sedangkan BD itu sendiri juga anonim, NN (No Name).

Sebagai babad atau dongengan seperti itu boleh saja dan tak penting untuk kita soal apalagi kita perdebatkan, sekalipun dongeng yang baik dan atau sebagai karya (jika dikatakan bagian dari karya sastra) yang bermutu adalah merupakan potret atau bahkan jejak sosiologis kultural adalah fakta sejarah pada zamannya, begitu juga terhadap karya seni lukis, baik yang abstrak, naturalis, absurd, kubis, ghotic, surealis, impresionis, dan seterusnya. Halusinasinya berakhir menjadikan ilusif.

Wiralodra vs Monalisa

Sesungguhnya sangat tidak patut dipersandingkan Wiralodra dengan Monalisa, tetapi untuk mendekontruksinya, terpaksa kita (saya) harus membenturkannya sebagai pisau analisis, sehingga imaji-imaji liar keduanya, yaitu antara AAG dengan LdV seperti apa, tetapi bukan dalam konsep perspektif (jika itu yang dimaksudkan AAG), tetapi justru kebalikannya dari apa yang dikatakan Panofsky (1924-1925/1955), membuka sebuah ranah yang sama sekali baru, – yaitu “visi” – dimana keajaiban menjadi sebuah pengalaman yang bisa langsung dimengerti pengamat (dalam hal ini masyarakat umum, publik diposisikan sebagai pengamat), karena di matanya, kejadian-kejadian adikodrati merasuki ruang alamiah, memungkinkan menyelami penggambaran esensi adikodrati di dalam lukisan.

Seperti halnya LdV dengan imaji-imaji liarnya kemudian menjadikan Monalisa. Itu tidak menjadi masalah dan tidak perlu dipermasalahkan, sah-sah saja. Monalisa kemudian ramai diperbincangkan dan menjadi fenomena dunia, terutama oleh para kritikus seni (rupa), pemerhati lukisan dan penikmat lukisan, karena kekuatan lukisan itu sendiri, yaitu potret seorang wanita dengan judul lukisan: “Monalisa”. Banyak kalangan, Monalisa (mona lisa) sebagai sebuah potret wanita sangat mempesona (sebagai lukisan minyak) saat memandangnya, dikarenakan segala sesuatu mengenai siapakah model perempuan muda dalam lukisan itu merupakan suatu misteri, tahun pembuatannya hingga mengenai senyumnya yang fantastis. Monalisa baru dikenal abad ke-19 (tahun 1503) pada saat LdV kembali dari kota Florence Itali, saat itu LdV mendapatkan tugas dari bangsawan Francesco di Bartolomneo untuk melukis potret istri ketiganya yang bernama Lisa Di Antonio Maria Di Noldo Chereadini.
AAG juga tidak perlu disoal atau dipermasalahkan dengan imaji-imaji liarnya yang melahirkan Wirolodra, jika lukisan itu memang imaji-imaji liar AAG yang ansich untuk kekuatan lukisan itu sendiri, yaitu potret sosok lelaki yang gagah perkasa dan bisa berganti-ganti rupa dalam wujudnya yang bernama Wiralodra, jika kita analogkan dengan Monalisanya LdV, sekalipun tidak patut dianalogikan, karena hanya akan merentangkan langit dengan bumi.

Yang menjadi persoalan adalah potret lukisan yang bernama Wiralodra tersebut oleh AAG sebagai penguatan status quo rezim penguasa yang mengklaim kesejarahan dalam sejarah, dalam hal ini Wiralodra yang DNA (darah, nasab) Bagelen sebagai Pendiri Dermayu (Indramayu) setelah membuka hutan sungai Cimanuk.

Ditelisik dari nama Endang Darma dengan tulisan “d-a-r-m-a”, maka gugur juga sebagai tanda dan penanda, jika berasal dari Bayuurip maupun Bagelen atau Jawa (sanskrit), maka akan ada huruf ”H” yaitu “dh-a-r-m-a.” Ini terkesan sepele tetapi sebagai tanda dan penanda jejak sejarah dalam kesejarahan yang akar kulturnya Jawa akan menjadi petunjuk kuat adanya relasi DNA secara kultural. Untungnya Endang Darma dalam SI, tidak ada jejaknya, apa dari Jawa atau Palembang, ataukah DNA makhluk Astral?

Wiralodra jika kita telisik dari jejak DNA kultural, maka itu sangat jelas dari akar kultural Jawa, “Wira” dalam sanskerta berarti: gagah berani, berbudi luhur, teladan, pahlawan, sedangkan “lodra” adalah buas, Gerang, sangat marah. Jika kita melakukan pembacaan dari BD, SI-HAD, DPDAN-STKS, MJSI-SK, SI-DT dan W-AAG, maka jejaknya adalah akar Jawa. Jika kita tilik dari definisi glosarium nama Wira-lodra, dan itu direpresentasikan dan atau merepresentasikan ekspresi psikologis dari makna kata “gagah berani dan buas, Gerang, sangat marah (temperamental, pemarah)” itulah yang terekspresi dalam Wiralodra yang diekspresikan dan direferentasikan oleh AAG, disadari atau tridak.

Jika kemudian SK mengatakan Indramayu bukan Jawa dan bukan Sunda, karena SK tidak paham dengan analisis kebuyaan, jadi bisa belajar sama Max Weber, pria kelahiran Jerman tahun 1864 dan belajar juga sama Claude Levi-Strauss, seorang antropolog Prancis dan Michel Foucault, seorang arkeolog tapi juga mengurai moralitas atau ke Sigmund Freud tentang Psiko Analisis atau berguru kepada yang lainnya, jadi tidak mem-babi-buta sebagai penulis sejarah, pemerhati sejarah dan budaya, sehingga bisa keluar dari intelektual salon.
Indramayu akar kulturnya adalah wong Jawa, bukan Sunda (Parahiayang). Hal ini bisa kita bedah dari pendekatan lingusitik, dimana dari kakek buyutnya atau nenek moyang SK yang hidup dalam peradaban bahasa sebagai sistem atau tanda dan penanda komunikasi hinggaa kini ada yang disebut dengan basaha ngoko, bahasa kromo dan kromo inggil, sekalipun benar bahwa bahasa ngoko Indramayu kadang banyak yang tidak sama, termasuk dalam logat atau dialek, tetapi dalam konteks dan atau struktur kontruks bahasa kromo dan kromo 9inggil tidak berbeda. Jika pun ada sebagian dari Indramayu, seperti Haurgeulis dan Parean Kandanghaur, memang benar itu hidup dalam bahasa Sunda, tetapi juga bukan seperti Sunda Parahiayang.

Sewaktu Caraka Sundanologi ke Indramayu sekitar tahun 1985an (jika tak salah ingat, karena saya sebagai saksi sejarah) diisukan akan mensundakan Indramayu, Kita (saya) kemudian mengkonfirmasi, jika itu benar saya keberatan dan menolak program Caraka tersebut, karena tidak ada landasarn kultural yang bisa membenarkan, tetapi jika Caraka Sundanologi mau melihat perkembangan peradaban dan bahasa Sunda yang hidup dan berkembang di Indramayu seperti Haurgeulis, Parean, Cipancuh dan lainnya itu tak menjadi persoalan. Maka, kemudian program Caraka waktu itu Indramayu turut serta mengsisi acara Sisindiran di tv Bandung. Saya ikut menemani latihan untuk bisa tampil dengan baik di tv Bandung dan bahkan ikut ke Bandung, yang terlibat dalam pelaku sejarah Sisindiran itu, antara lain, Vut Asmakum (sekarang ASN Guru SMAN Sindang, Budiharto (ASN di Bappeda), Komariyah (ASN Guru SMP Unggulan Sindang) dan yang lainnya saya sudah tak ingat lagi. Secara geografis dan geopolitik, Indramayu adalah Sunda, tetapi secara cultural adalah Jawa. Dalam ke-bhineka-an, hal ini tak perlu diperdebatkan, tetapi kita harus juga paham dengan soal-soal itu seperti yang diurai oleh Samuel P. Huntington, sehingga tidak terjadi benturan peradaban, menyingkirkan prasangka.

Monalisa sebagai sebuah lukisan yang merupakan potret perempuan yang mempesona dengan senyumnya itu bukan sesuatu hal yang haram, begitu juga jika itu dilakukan AAG dengan Wiralodranya dengan model kaos oblong cap cabe (lombok), sehingga, dalam hal ini AAG sebagai pelukis salon, apakah hal itu keterlibatannya langsung ataukah tidak langsung dengan rezim status quo, menjadi tidak penting, karena sama saja.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, AAG menyelam dikedalaman air keruh dengan idiologi politik atau kekuasaan sebagai panglima, sehingga begitu sangat konfiden bahwa lukisannya, potret seorang lelaki yang diberinama Wiralodra akan menjadi bagian dari kebenaran sejarah yang bukan sejarah, dan bermimpi atau berimaji sangat liar, bahwa potret Wiralodranya akan bagaikan Monalisanya Leonardo da Vinci, apalagi jika kemudian buku SI-HAD, DPDAN-STKS, MJSI-SK dan SI-DT dicetak ulang kemudian lukisan Wiralodranya AAG sebagai bagian yang tak terpisahkan dari buku yang katanya itu buku Sejarah Indramayu, yang sudah dinormakan sebagai sejarah.

AAG dengan Wiralodranya tengah menancapkan pondasi dan membangun konstruksi dengan kontruks “persepsi tunggal” untuk memblokir atau membendung keraguan, kesangsian, tanda tanya besar dan atau ketidakpercayaan akan sejarah Indramayu dan kesejarahan Wiralodra dan Endang Darma atas masyarakat (publik) awam yang mencoba kritis, yang jika tidak dibendung akan berimplikasi menjadi sebuah krisis legitimasi terhadap SI dengan Wiralodra dan Endang Darmanya. Sesungguhnya, scond opinion untuk menjaga keajegan kontruksi Wiralodra dan Endang Darma dalam Sejarah Indramayu juga telah dilakukan pemagarbetisan sebelumnya oleh STKS dengan DPDANnya, SK dengan MJSInya, DT dengan SInya. STKS, SK, DT maupun AAG dengan pendahulunya HAD telah membuat penormaan yang disokong mati-matian oleh rezim penguasa atau rezim status quo, sehingga tidak bisa tercermin di dalam makna yang sudah dijadikan norma, seperti yang dikatakan Jurgen Habermas (1975), sia-sia pula jika kita ingin mencari landasan keshahikan yang terbuka bagi kritik di balik kepercayaan faktual (dalam hal ini, para pendongeng) terhadap legitimasi dan di balik klaim keshahikan sebuah norma.

Fiction (dalam hal ini, dongengan dari para pendongeng tentang Wiralodra dan Endang Darma) yang bisa diciptakan seseorang jika perlu bisa dijadikan sebagai bahan bagi harapan kontrafaktual yang berguna. Hal ini bisa hanya dipahami dari sudut pandang fungsionalis, yakni dengan memberlakukan klaim-klaim keshahikan sebagai kebohongan (dalam hal ini, sekaligus menanamkan dan menumbuhkan pembodohan, terutama bagi anak cucu kita yang masih berada di bangku pendidikan dasar, menengah dan atas atau yang telah srajana yang diproduksi dari perguruan tinggi yang menjualbelikan transkrip nilai, skripsi dan ijazah) yang secara fungsional dibutuhkan. Kebohongan ini tidak mungkin dibeberkan jika kepercayaan terhadap legalitas tidak ingin mengalami goncangan.

AAg, begitu juga HAD, STKS, SK dan DT bermain-main dengan halusinasi masa lampau yang sudah ribuan tahun, sehingga menjadi sebuah ilusi. Jika kemudian AAG akan berkelit untuk melakukan penghindaran agar dirinya bisa keluar dari persoalan ilusif, bahwa lukisan Wilarodranya itu merupakan “kesadaran estetik”, sekalipun kata Hans-Georg Gadamer (1975), bahwa gambar (lukisan) tidak dimaksudkan untuk disangkal, karena ia bukan sebuah jalan untuk mencapai tujuan. Gambar itu sendiri adalah sesuatu yang dimaksudkan, yang penting adalah bagaimana sesuatu yang yang direpresentasikan di dalam gambar direpresentasikan, hal ini berarti bahwa gambar tidak hanya yang dijauhkan darinya untuk sesuatu yang direpresentasikan.

Apa yang dilakukan AAG, justru kebalikan dari apa yang diurai Hans-Georg Gadamer, dengan Wiralodranya dari kedasaran estetiknya; karakter khusus. Wiralodranya sebagai sebuah jalan untuk mencapai tujuan, yaitu pelegitimasian akan sejarah dan kesejarahan dalam Sejarah Indramayu dengan Wiralodranya. Gambar (lukisan) Wiralodra merupakan representasi yang direprensentasikan (yang dimaksud dalam hal ini, Wiralodra), maka lukisan mengandung sebuah hubungan dengan manusia yang direpresentasikan, sebuah hubungan yang tidak perlu ditempatkan di dalam, tetapi yang dimaksudkan secara jelas di dalam representasi itu sendiri dan merupakan ciri khas dari reperesenatsi sebagai lukisan. Dengan demikian, AAG sesungguhnya sedang memperjelas kesadaran estitiknya sebagai sebuah jalan untuk mencapai tujuan. Keniscayaan tersebut tak akan bisa terbantahkan dengan Wiralodranya.
AAG tentu sangat yakin dan atau berkeyakinan, bahwa Wiralodra bukanlah merupakan halusinasi dirinya, sehingga akan melakukan penyangkalan jika itu harus dikatakan sebuah ilusi dirinya. Untuk meyakinkan dirinya sekaligus untuk memproteksi persepsi bahkan perspektif di luar dirinya, maka pada gambar (lukisan) Wiralodra itu dibubuhi tanda tangan (paraf) sang pelukisnya, dalam hal ini, AAG, sehingga tidak ada ruang tafsir lain selain dirinya mengenai wujud Wiralodra yang dalam BD, Wiralodra adalah pendiri nagari Demayu yang kini berubah namanya menjadi Indramayu, yang kemudian oleh HAD, STKS, SK dan DT dinormakan, dan kemudian Wiralodra (dan Endang Darma) di-perda-kan menjadi Sejarah Indramayu, yang setiap tanggal 7 Oktober dipestakan dan diperhelatan sebagai Hari Jadi Indramayu, dan seharusnya Wiralodra sudah harus dimonumentalkan dalam bentuk patung raksasa untuk dan atau sebagai sebuah identitas Indramayu di tengah benturan peradaban yang saling menggerus dalam pusaran waktu, dimana jarum waktu tidak bisa lagi diputar balik seperti sediakala. Perebutan idiologi dan perebutan bayang-bayang tak akan terealakan lagi, karena hasrat hendak berkuasa terus membara.

Baca juga:Sejarah Indramayu: Wiralodra Utusan Demak

Sehingga, untuk melengkapi kengawuran dan kenaifan (dengan alibi, AAG adalah korban sekaligus adalah pelaku) tersebut, mestinya dari tangan AAG juga terlahir potret sosok wanita yang superior yang bernama Endang Darma, sehingga Wiralodra dan Endang Darma akan melegenda sepanjang masa sebagai dwitunggal, dan akan menjadi sempurna kengawuran dalam “tanda” dan “petanda” yang kemudian dimasukan dalam kurikulum muatan lokal dengan payung hukum di-Perda-kan, bukan dilisankan mengulang dongeng sebagai dongeng nina bobo, sehingga, kita bisa menanamkan dan menumbuhkan pembodohan, siapa tahu kita bakal sebagai ahli waris sejarah kebohongan atau kebohongan sejarah, yang akan melahirkan karakter hipokrit, mentalitas salon (penyemir) dan mentalitas (korup), tipu daya, tipu muslihat dan tipu-tipu lainnya (karakter pecundang dianggap sebagai pahlawan) untuk memperdaya (dengan segala kelicikannya), seperti Wiralodra terhadap Raja (Ki Geden) Sumedang untuk mendapatkan tanah (wilayah), yang bukan haknya menjadi hak miliknya, karena kita adalah sebagai pewaris sejarah Wiralodra dan Endang Darma, dan kita adalah ahli waris Sejarah Indramayu yang sah.******

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti dan sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD). Accontant Freelance. Tinggal di Singaraja. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

  • Bagikan

Comment