Indramayu, tanganrakyat.id – Di tengah semaraknya perayaan Hari Jadi Indramayu yang ke-498, sebuah realitas pahit membayangi kemeriahan: angka kemiskinan yang memilukan di wilayah lumbung padi nasional ini. Angka-angka ini bukanlah statistik mati; mereka adalah 236 ribu jiwa – pembayar pajak, warga negara, dan suara dalam kontestasi politik – yang berjuang setiap hari di bawah garis batas kemampuan mengais rezeki.
Menurut Data BPS tahun 2025, angka kemiskinan Indramayu mencapai 11,93%, yang merupakan tertinggi di antara 27 kabupaten/kota di Jawa Barat. Angka ini jauh melampaui rata-rata kemiskinan Jawa Barat (7,63%) dan rata-rata nasional (8,74%). Bayangkan, 236 ribu orang ini hidup dengan standar maksimal mengais rezeki di bawah Rp20.000 per hari per orang. Mereka adalah wajah nyata dari perjuangan melawan terik, kabut, dan hujan.
Ironi “Lumbung Padi” dan Retorika Politik
Besarnya jumlah ini—yang secara harfiah tak tertampung di stadion mana pun di Indramayu—membawa beban ganda: beban sosial dan beban politik. Secara politik, 236 ribu suara aktif ini setara dengan potensi 13 kursi DPRD Indramayu, 2 kursi DPRD Provinsi, dan berpeluang 2 kursi DPR RI. Namun, yang paling memilukan adalah ironi demografisnya: 60% dari 236 ribu warga miskin tersebut berasal dari rumpun masyarakat petani.
Ini terjadi di saat para pejabat daerah “hanya ngedabrus” (berbicara tanpa substansi) tentang capaian hasil panen tertinggi secara nasional. Sosiolog politik, Robert Gurr, mengingatkan kita bahwa kemiskinan bukan hanya luka fisik, tetapi juga “menggores luka batin karena janji yang tak berbukti.” Kemiskinan di Indramayu semakin terasa pedih karena disajikan bersamaan dengan retorika keberhasilan.
Unjuk Rasa Keprihatinan
Sosiolog Ian Suntana dengan tegas menyatakan, “Kemiskinan tidak bisa dihapus dengan akting yang disorot kamera.” Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi perayaan yang mungkin diselimuti pencitraan.
Baca juga:
Kang Supardi, Wartawan Muda Penuh Berkah
Hari ini, bahasa politik pemimpin seringkali direkayasa untuk membuat kebohongan tampak jujur dan kritik dibilang “nyinyir.” Retorika dirancang untuk mengaburkan fakta. Di tengah “pesta” Hari Jadi, 236 ribu jiwa miskin Indramayu adalah unjuk rasa keprihatinan yang paling nyata. Mereka adalah pengingat bahwa kerusakan struktural ini tidak hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga pada kita yang mendiamkannya, sebagaimana peringatan dalam Q.S. Al Anfal, 25.
Kita dihadapkan pada panggilan moral untuk menjadi bagian dari gerakan yang “mensubsidi jalan kebaikan dan memportal jalan kerusakan” (Q.S. Al Imron, 104). Hanya dengan menghadapi angka-angka kemiskinan ini secara jujur dan bertindak nyata, bukan dengan retorika kosong, Indramayu dapat menempuh jalan yang “Husnul khatimah.” Indramayu, Selasa Pahing, 7 Oktober 2025.
Wassalam.
Comment